Perubahan Iklim, Pemanasan Global, dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Turbulensi Udara
JAKARTA – Turbulensi parah yang dialami pesawat Singapore Airlines pada rute penerbangan London-Singapura menjadi perhatian masyarakat dunia. Insiden yang terjadi pada Selasa (21/5/2024) ini mengakibatkan satu penumpang meninggal dunia dan beberapa lainnya luka. Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini ikut disebut sebagai salah satu penyebab makin seringnya turbulensi.
Penerbangan dari London menuju Singapura jatuh ke dalam kantong udara ketika awak kabin sedang menyajikan sarapan sebelum mengalami turbulensi. Dalam konferensi persnya, Manajer Umum Bandara Suvarnabhumi Bangkok Kittipong Kittikachorn mengatakan kejadian ini mendorong pilot untuk meminta pendaratan darurat.
Mengutip Reuters, pesawat berada di ketinggian 37 ribu kaki di atas Cekungan Irrawaddy di Myanmar, sekitar 10 jam setelah penerbangan.
Andrew Davis, penumpang pesawat asal Inggris, menceritakan kejadian mengerikan tersebut. Ia juga menggambarkan jeritan mengerikan dan suara seperti hentakan benda-benda pada detik-detik awal kejadian.
“Yang paling saya ingat adalah benda-benda beterbangan di udara. Saya basah kuyup terkena kopi. Turbulensinya luar biasa parah,” cerita Andrew Davis, mengutip BBC.
Pada saat kejadian, para penumpang yang duduk dan tidak memakai sabuk pengaman langsung terlempar ke langit-langit hingga mengakibatkan luka. Sementara pria berusia 73 tahun asal Inggris meninggal dunia diduga karena serangan jantung.
Turbulensi Udara Jernih
Turbulensi adalah fenomena pergerakan udara tidak teratur yang menimbulkan arus angin. Saat arus ini menyerbu pesawat, maka pesawat tersebut dapat terguling, miring ke samping, atau tiba-tiba jatuh dari ketinggian.
Beberapa faktor disebut menjadi penyebab pesawat mengalami turbulensi, mulai dari udara yang mengalir dari pegunungan menuju awan-awan hingga cuaca buruk.
Untuk kasus Singapore Airlines, pesawat mengalami turbulensi ekstrem yang menyebabkan pesawat turun begitu cepat hingga ketinggian 31 ribu kaki. Artinya, pesawat terjun mendadak setinggi 6 ribu kaki atau hampir 2 km dalam kecepatan tinggi.
Saat kejadian, pesawat telah mencapai Teluk Benggala yang terletak di antara anak benua India dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara. Beberapa pilot menganggap wilayah tersebut memang “terkenal” sepanjang tahun ini karena hujan monsun dapat menyebabkan turbulensi.
Namun pilot komersial tahu bagaimana cara mempersiapkan skenario serupa. Mereka biasanya bergantung pada radar cuaca dan membawa bahan bakar ekstra sehingga dapat terbang lebih lama sambil menunggu cuaca membaik, jika memang dibutuhkan.
Opsi lainnya, mereka mengikuti jalur yang dipetakan oleh pesawat lain yang baru-baru ini melewati wilayah tersebut dan telah memperingatkan pengawas lalu lintas udara mengenai gejolak cuaca.
Tapi ada salah satu skenario yang mustahil dipersiapkan, yaitu ketika langit cerah dan radar pesawat tidak mendeteksi adanya sesuatu yang salah. Fenomena ini dikenal sebagai clear air turbulence (CAT) atau turbulensi udara jernih. Inilah yang kemungkinan dialami oleh Singapore Airlines pekan lalu.
“Bisa jadi pesawat mulai bergetar, kita menyalakan tanda sabuk pengaman, namun tanpa disadari kita jatuh ke dalam zona turbulensi udara,” ujar Kapten Teerawat Angkasakulkiat, Presiden Asosiasi Pilot Thailand, dikutip The New York Times.
Menurut pengalaman sejumlah pilot, turbulensi udara jernis jauh lebih merepotkan karena sangat sulit dideteksi.
Peningkatan Kasus Hingga 55 Persen
Sementara itu, sebanyak 12 orang dilaporkan terluka akibat turbulensi parah dalam penerbangan Qatar Airways dari Doha ke Dublin, Irlandia, 26 Mei lalu. Pesawat jenis Boeing 787-9 Dreamliner mengalami turbulensi parah saat terbang di atas Turki, demikian penjelasan operator Bandara Dublin DAA.
Insiden ini terjadi lima hari setelah Singapore Airlines mengalami turbulensi parah hingga mendarat darurat di Bangkok, Thailand.
Kecelakaan penerbangan terkait turbulensi adalah jenis yang paling umum, menurut studi tahun 2021 yang dilakukan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat. Pada periode 2009 sampai 2018, badan tersebut menemukan bahwa turbulensi menyumbang lebih dari sepertiga kecelakaan penerbangan yang dilaporkan dan sebagian besar mengakibatkan satu atau lebih cedera serius, namun tidak ada kerusakan pada pesawat.
Singapore Airlines sendiri dikenal luas sebagai salah satu maskapai penerbangan terkemuka di dunia dan menjadi tolok ukur bagi sebagian besar industri penerbangan. Mereka tidak mengalami insiden besar apa pun dalam beberapa tahun terakhir.
Masyarakat mungkin bertanya-tanya mengapa insiden turbulensi belakangan makin sering terjadi? Apalagi jika berkaca pada pengalaman Singapore Airlines dan Qatar Airways yang hanya berjarak lima hari.
Apakah ada kesamaan antara insiden keduanya? Jika dua pesawat tersebut berada di area yang sama saat terjadi turbulensi, mereka mungkin dipengaruhi oleh meteorologi yang sama, menurut Milton Speer, ahli meteorologi dan peneliti di University of Technology Sydney. Tapi QF17 dan SQ321 terpisah ribuan kilometer saat dilanda turbulensi hebat.
Carim mengatakan, dia tidak melihat kejadian atmosfer atau meteorologi yang jelas yang menghubungkan dua kejadian turbulensi itu. Namun, belakangan insiden turbulensi parah tengah meningkat belakangan ini. Tahun lalu, para ilmuwan di Universitas Reading, Inggris, menemukan turbulensi udara jernih meningkat 55 persen antara tahun 1979 dan 2020 di rute Atlantik Utara yang biasanya sibuk.
Mereka kemudian mengaitkan peningkatan tersebut dengan perubahan kecepatan angin di ketinggian akibat udara yang lebih hangat dari emisi karbon. Guy Gratton, rektor kepala studi penerbangan dan lingkungan di Cranfield University, mengatakan kita lebih sering menghadapi turbulensi salah satunya karena orang di masa kini lebih banyak terbang.
Sementara itu, Menteri Transportasi AS Pete Buttigieg mengatakan perubahan iklim adalah salah satu penyebab di balik peningkatan turbulensi penerbangan.
"Kenyataannya, dampak perubahan iklim sudah ada di depan mata dalam hal transportasi kita," kata Buttigieg dalam acara "Face the Nation" di CBS, Minggu (26/5/2024).
Ia memperkirakan bahwa turbulensi adalah sesuatu yang akan terus memengaruhi para pelancong AS, di dalam negeri maupun di luar negeri. Perubahan iklim menyebabkan gelombang panas, musim badai yang kian ekstrem, dan kenaikan turbulensi sekitar 15 persen.
“Iklim kita terus berevolusi. Kebijakan dan teknologi serta infrastruktur kita juga harus berevolusi,” kata Buttigieg.
Baca juga:
- Di BP Jamsostek Ada Program Cicilan Rumah, Lantas Apa Urgensi Tapera?
- Jampidsus Dikuntit Densus 88: Tanda Tanya Besar di Balik Sikap Diam Kapolri dan Jaksa Agung
- Soal Korupsi Syahrul Yasin Limpo: Psikolog Bilang Itu Wujud Kepribadian Serakah, Narsistik, Sekaligus Abnormal
- Investasi Ilegal Masih Marak, Akibat Kemajuan Teknologi Tak Dibarengi Literasi Keuangan
Lembaga iklim PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), melaporkan adanya bukti kuat bahwa perubahan iklim membuat badai tropis semakin intens. Perubahan iklim menghangatkan laut yang kemudian menyebabkan lebih banyak air menguap. Dengan demikian, lebih banyak hawa panas dan cairan naik ke udara.
Udara yang hangat dapat mengangkut lebih banyak cairan dan ini menghasilkan angit kuat serta badai hujan yang lebih berat, yang kemudian menghasilkan turbulensi parah.
Para penyelidik akan memeriksa data dari sistem untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada penerbangan Singapore Airlines. Data ini diharapkan dapat digunakan dalam penelitian ilmiah untuk membantu memahami penyebab turbulensi dan memperbaiki sistem prediksi turbulensi.