JAKARTA - Lambatnya keberangkatan, kehilangan bagasi, atau antrean panjang di pos pemeriksaan keamanan—penerbangan selama ini telah menghadirkan berbagai tantangan. Namun, para ilmuwan kini menunjukkan adanya kekhawatiran yang mungkin lebih besar: peningkatan kekerasan turbulensi yang dapat menyebabkan perubahan ketinggian yang tiba-tiba dan cedera serius.
Para peneliti dari Inggris telah menemukan bahwa kekerasan turbulensi meningkat sebesar 55 persen sejak tahun 1979, dan kemungkinan akan semakin umum seiring dengan pemanasan global planet kita.
Pemanasan global menyebabkan gangguan pada jet stream—arus udara yang bergerak cepat yang digunakan pesawat untuk mendapatkan kecepatan tambahan.
Semakin banyak penumpang pesawat yang merekam rekaman turbulensi ekstrem yang menakutkan menggunakan ponsel mereka, yang mengakibatkan pramugari dan minuman panas berhamburan. Dalam kasus-kasus langka, turbulensi bahkan bisa fatal, seperti yang terjadi awal tahun ini ketika menyebabkan kematian seorang penumpang di sebuah pesawat jet pribadi.
Puluhan ribu pesawat mengalami turbulensi berat setiap tahun, dengan perkiraan biaya bagi sektor penerbangan global mencapai 1 miliar dolar AS (Rp14,8 triliun) akibat biaya cedera, kerusakan struktural pesawat, dan keterlambatan penerbangan.
Studi baru ini dilakukan oleh para peneliti di University of Reading dan dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters Kamis 8 Juni.
"Setelah satu dekade penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan turbulensi di udara yang jernih di masa depan, kini kami memiliki bukti yang menunjukkan bahwa peningkatannya telah dimulai," kata penulis studi Profesor Paul Williams, dikutip Daily Mail.
"Kita seharusnya berinvestasi dalam sistem peramalan dan deteksi turbulensi yang lebih baik, untuk mencegah udara yang lebih kasar menjadi penerbangan yang lebih berguncang dalam beberapa dekade mendatang," tambahnya.
BACA JUGA:
Turbulensi pesawat terjadi di lokasi yang terdefinisi dengan baik, seperti di atas rangkaian pegunungan atau di dekat badai konvektif, dan umumnya dapat dihindari. Namun, terdapat jenis turbulensi khusus yang disebut turbulensi udara jernih (clear-air turbulence/CAT) yang tidak terlihat, terjadi ketika massa udara yang bergerak dengan kecepatan yang berbeda bertemu.
CAT sulit untuk diamati sebelum pesawat melewati jalurnya menggunakan metode pendeteksian jarak jauh dan sulit untuk diprediksi oleh meteorolog penerbangan.
"Masalah utama [dengan CAT] adalah Anda tidak dapat melihatnya," kata Ramalingam Saravanan, seorang profesor di Departemen Ilmu Atmosfer di Texas A&M University yang tidak terlibat dalam studi tersebut.
Upaya untuk meningkatkan peramalan dan deteksi turbulensi menjadi lebih penting dalam menghadapi perubahan iklim dan peningkatan kekerasan turbulensi. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi turbulensi, para ahli penerbangan dapat mengembangkan sistem yang lebih efektif untuk memperingatkan awak pesawat dan penumpang tentang kondisi yang mungkin berpotensi berbahaya.
Studi ini juga menyoroti perlunya tindakan mitigasi perubahan iklim yang lebih serius untuk mengurangi dampak negatif pada transportasi udara dan keselamatan penerbangan. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi pemanasan global dapat membantu menjaga stabilitas jet stream dan mengurangi risiko turbulensi yang lebih parah di masa depan.
Perubahan dalam kekerasan turbulensi menjadi peringatan bagi industri penerbangan dan komunitas ilmiah bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada infrastruktur dan keselamatan manusia. Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara peneliti, insinyur penerbangan, dan pihak berkepentingan industri akan menjadi kunci dalam mencari solusi yang efektif.
Penerbangan yang aman dan nyaman tetap menjadi prioritas utama, dan dengan pemahaman yang lebih baik tentang turbulensi dan dampaknya, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan peringatan, perlindungan, dan pengelolaan risiko turbulensi di masa depan.