Vladimir Putin Menang Telak di Pilpres Rusia, Raih Suara Tertinggi Pasca-Uni Soviet
JAKARTA - Petahana Vladimir Putin menang telak dalam Pemilihan Presiden di Rusia pada Hari Minggu, mencatat rekor raihan suara tertinggi serta bisa menjadi pemimpin terlama di negara itu dalam dua abad terakhir.
Putin meraih 87,8 persen suara, yang merupakan hasil tertinggi dalam sejarah Rusia pasca-Uni Soviet, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat Public Opinion Foundation (FOM). Pusat Penelitian Opini Publik Rusia (VCIOM) menempatkan Putin pada 87 persen. Hasil resmi pertama menunjukkan bahwa jajak pendapat tersebut akurat.
Kandidat komunis Nikolai Kharitonov menempati posisi kedua dengan suara di bawah 4 prsen, diikuti pendatang baru Vladislav Davankov di posisi ketiga dan ultra-nasionalis Leonid Slutsky di posisi keempat.
Mantan letnan kolonel KGB ini pertama kali naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1999. Hasil ini akan melanggengkan Putin untuk melewati Josef Stalin dan menjadi pemimpin terlama di Rusia selama lebih dari 200 tahun terakhir, jika ia menyelesaikan masa jabatannya.
Putin mengatakan kepada para pendukungnya dalam pidato kemenangan di Moskow, Ia akan memprioritaskan penyelesaian tugas-tugas yang terkait dengan apa yang ia sebut sebagai "operasi militer khusus" Rusia di Ukraina dan akan memperkuat militer Rusia.
"Kita mempunyai banyak tugas ke depan. Namun ketika kita melakukan konsolidasi - tidak peduli siapa yang ingin mengintimidasi kita, menindas kita - tidak ada seorang pun yang pernah berhasil dalam sejarah, mereka belum berhasil saat ini, dan mereka tidak akan pernah berhasil di masa depan," kata Presiden Putin, melansir Reuters 18 Maret.
Lebih lanjut Presiden Putin mengatakan kepada wartawan, dia menganggap Pemilu Rusia berlangsung demokratis, dengan protes yang diilhami meninggalnya pemimpin oposisi Alexei Navalny terhadap dirinya tidak berdampak pada hasil Pemilu.
Ketika ditanya oleh NBC, apakah terpilihnya kembali dirinya demokratis, Ia balik mengkritik sistem politik dan peradilan Amerika Serikat.
"Seluruh dunia menertawakan apa yang terjadi (di Amerika Serikat)," katanya.
"Ini hanya sebuah bencana, bukan demokrasi," lanjutnya.
Baca juga:
- Komisi PBB Kumpulkan Bukti Penyiksaan Sistematis Rusia Terhadap Tawanan Perang Ukraina
- PM Israel Setujui Rencana Operasi Militer di Rafah, IDF akan Evakuasi Penduduk
- Hamas Sampaikan Proposal Baru Gencatan Senjata, akan Bebaskan Sandera Anak-anak hingga Orang Sakit
- Australia akan Lanjutkan Pendanaan, Menlu Wong: Kami Tahu UNRWA Sangat Penting
"Apakah demokratis jika menggunakan sumber daya administratif untuk menyerang salah satu calon presiden Amerika Serikat, antara lain dengan menggunakan sistem peradilan?" tanyanya, dengan jelas merujuk pada empat kasus kriminal yang menimpa kandidat Partai Republik Donald Trump.
Sementara itu, tingkat partisipasi pemilih secara nasional adalah 74,22 persen sampai pemungutan suara ditutup, kata pejabat Pemilu, melampaui tingkat tahun 2018 sebesar 67,5 persen.
Tidak ada penghitungan independen mengenai berapa banyak dari 114 juta pemilih di Rusia yang ambil bagian dalam demonstrasi oposisi, di tengah pengamanan ketat yang melibatkan puluhan ribu polisi dan petugas keamanan.