Melindungi Anak-Anak di Ruang Digital

JAKARTA - Jumlah pengguna internet di kalangan anak-anak terus bertambah di Indonesia. Data Kominfo menyebut ada 10 persen pengguna internet di Indonesia yang berusia di bawah 15 tahun. Pengunaan internet tanpa pengawasan pada anak-anak berpotensi membawa dampak berbahaya.

Maka dari itu, Kominfo mengadakan kegiatan Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) dengan tema “Lindungi Anak Kita di Ruang Digital” pada Jumat, 8 Maret.

Andi Ardian, Program Manager Ecpat Indonesia, mengatakan saat ini orangtua mempunyai keresahan bersama terkait aktivitas anak-anak di dunia daring. Anak-anak bisa terpapar konten negatif, pemerasan, terpengaruh dari perilaku buruk, korban eksploitasi seksual, hingga korban konsumsi produk tertentu.

“Jadi yang tidak dipahami adalah eskalasi ketika anak-anak melakukan kegiatan di (ruang) online itu bisa menjadi semakin cepat menyebar karena akan meninggalkan jejak digital, yang bisa memperburuk situasi,” jelasnya.

Untuk konten yang sifatnya sensitif, lanjut Andi, hal ini dapat memberikan trauma kepada anak-anak. Dia akan mendapatkan trauma seumur hidup karena melihat konten buruk mengenai dirinya tersebar.

Menurut Andi Ardina, regulasi yang ada saat ini masih memiliki celah. Misalnya, kasus grooming online atau kejahatan seksual terhadap anak yang belum ada aturan hukumnya. Ini tantangan bagi pemangku kepentingan dan pembuat regulasi untuk menutup celah hukum ini.

Sejalan dengan itu, Lusi Ayudaningsih selaku Program Director Digimom mengatakan ada risiko anak di dunia digital, yaitu sebagai pelaku dan juga korban. Misalnya anak-anak dapat menjadi korban cyberbullying atau juga pelaku cyberbullying itu sendiri.

Maria Advianti, PP Muslimat NU, memaparkan penggunaan tekonologi dalam islam merupakan hal yang mubah atau boleh. Orangtua menurut Maria memiliki peran penting untuk memahami teknologi digital saat ini. Dengan itu, anak-anak mendapatkan pengawasan dari orangtua yang paham akan dunia digital.

“Yang bisa kita lakukan adalah membangun benteng dari anak kita sendiri yang memiliki norma dan etika yang boleh dilakukan di ruang-ruang digital,” pungkasnya.

Dalam hal perlindungan anak, Andi menambahkan beberapa upaya dilakukan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan juga rancangan Perpres perlindungan anak dalam jaringan internet. Menurutnya, yang paling mendesak adalah kemampuan literasi digital yang ada di masyarakat.

“Saat ini harusnya mesti berpikir secara digital, dalam konteks perlindungan anak,” ujarnya.

Lusi Ayudaningsih menegaskan pentingnya peran orangtua dalam perlindungan anak di dunia digital. Pertama, yang harus dilakukan adalah menyamakan pola asuh anak. Kedua, mulai edukasi kepada anak untuk mengenalkan fungsi-fungsi perangkat digital. Ketiga, hal-hal yang bisa terjadi di ruang digital, seperti konten negatif, pornografi, cyberbullying dan sebagainya.