Bagikan:

JAKARTA - Di era yang serba canggih saat ini, anak-anak tumbuh di lingkungan yang dikelilingi berbagai perangkat digital yang menawarkan informasi tanpa batas. Oleh karena itu, orang tua memiliki peran penting untuk membentuk anak-anak yang cerdas literasi dan bijak dalam menggunakan teknologi digital.

Peran penting orang tua ini sebagai garda terdepan bagi anak di era digitalisasi lantaran hingga hari ini makin marak terjadi kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual, yang diawali dari konten-konten digital, khususnya media sosial.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan mengungkapkan data menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, baik yang terjadi secara langsung maupun melalui media digital, angkanya masih mengkhawatirkan.

"Pada 2022 ada sebanyak 4.683 kasus, kategori perlindungan khusus anak 2.133 kasus, sementara kategori pemenuhan hak 190 kasus. Pada 2023 sebanyak 3.877 kasus, 1.886 perlindungan anak tertinggi kekerasan seksual, dan 2.011 kasus masuk kategori pemenuhan hak," ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Perlindungan Anak dalam Ruang Digital', Rabu 19 Juni.

Lebih lanjut ia memaparkan, dari ribuan kasus dalam dua tahun terakhir, tidak sedikit pelaku kejahatan terhadap anak kebanyakan orang terdekat. Kawiyan menyebutkan, data dari KPAI pada 2023 ada 262 kasus kekerasan terhadap anak di mana pelakunya orang tua. Dalam hal ini, 153 kasus pelakunya ibu kandung.

"Ini menuntut kita untuk introspeksi dan mengembalikan fungsi orang tua sebagai pelindung anak-anak," tegas dia.

Melihat data tersebut, ia pun menekankan adanya urgensi bagi orang tua untuk membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi agar dapat menjadi pembimbing yang tepat bagi anak-anak dalam mengakses media digital.

Kawiyan pun menekankan perlunya solusi konkret untuk meningkatkan literasi digital orang tua. Sosialisasi dan kelas khusus literasi digital bagi orang tua salah satu langkah awal yang penting untuk pencegahan.

"Tak jarang orang tua tertinggal dalam literasi digital dibandingkan anak-anak. Oleh karena itu, diperlukan solusi konkret seperti kelas edukasi literasi digital khusus orang tua," lanjut dia.

Dalam pandangannya, orang tua merupakan gerbang terdepan dalam melindungi anak-anak mereka. Oleh karena itu, orang tua wajib meluangkan waktu untuk mendampingi anak saat menggunakan gadget, mendiskusikan konten yang mereka konsumsi, serta menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti dalam memahami konten-konten digital.

Kawiyan juga menilai pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan anak di era digital. Peraturan yang jelas dan tegas tentang konten berbahaya, klasifikasi game, dan jaminan keamanan anak di dunia digital harus ditegakkan.

Pentingnya Pencegahan

Tak hanya itu, di dalam perkembangan era digital saat ini, anak-anak tak ubahnya ‘kanvas kosong’ yang siap diwarnai dengan berbagai informasi yang diterima dari media digital. Menurut Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio, kunci utama dalam melindungi anak di era digital adalah membangun lingkungan yang aman dan protektif, terutama dari orang tua dan keluarga sebagai lingkungan terdekatnya.

"Hal ini bisa menciptakan ruang di mana anak-anak merasa nyaman untuk belajar, berinteraksi, dan berkreasi tanpa rasa takut akan bahaya online," ucapnya.

Dari kacamatanya, pencegahan menjadi kunci utama dalam melindungi anak-anak dari potensi bahaya konten media digital yang kerap mengandung disinformasi. Orang tua perlu mengawasi aktivitas online anak, menggunakan kontrol orang tua pada perangkat elektronik, dan mempopulerkan edukasi literasi digital.

Sementara itu dari sisi regulasi, ia menilai Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang diamandemen menjadi UU Nomor 35 tahun 2014, dan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah menjadi landasan kuat dalam melindungi anak-anak.

Ditambah dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memuat Pasal 16A, sektor industri digital pun dituntut untuk menjamin perlindungan anak di ranah digital.

Astrid menilai, Pemerintah Indonesia juga telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai upaya, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di daerah, hingga layanan hotline Sapa 129.

Menurutnya, upaya-upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang perlindungan anak di ranah digital.

"Undang-undang Perlindungan Anak dan UU ITE menjadi landasan penting dalam mewujudkan lingkungan digital yang aman bagi anak. Namun, regulasi saja tidak cukup. Peran orang tua dan komunitas sangatlah esensial," tegas dia.

Jadi kerja sama yang erat antara orang tua, lingkungan sekitar, serta kebijakan pemerintah yang mendukung, akan memastikan anak-anak mendapatkan perlindungan dan edukasi yang mereka butuhkan di dunia digital. Melalui literasi digital yang baik, diharapkan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dengan aman dan menjadi generasi yang siap menghadapi tantangan di masa depan.

Eddyko menambahkan, ATS berkolaborasi dengan petani kunci bawang merah dan Dinas Pertanian Sumatera Utara dalam mendorong adopsi penggunaan pupuk komersil berbasis mineral-organik yang bisa meningkatkan hasil panen dan juga memperbaiki kondisi tanah dan menekan pencemaran lingkungan.