JAKARTA - Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti dampak negatif perkembangan teknologi pada anak seperti kekerasan, bullying atau perundungan, hingga ranah pidana. Ia menekankan pentingnya materi literasi digital untuk anak-anak di bangku sekolah.
“Literasi digital dapat membantu anak-anak dalam memahami etika dan perilaku yang tepat di dunia maya. Mereka diajarkan bagaimana berkomunikasi secara sopan dan menghormati orang lain dalam berbagai platform online,” ucap Puan, Selasa 3 Oktober.
Puan menyoroti kasus bunuh diri seorang siswi di Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) belum lama ini. Perempuan berusia 16 tahun itu nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri karena mendapatkan cyber harassment akibat foto syurnya beredar di media sosial. Ironisnya, siswi tersebut merekam aksi gantung dirinya dengan menggunakan telepon seluler.
Selain kasus cyber harrassment, dampak lain kurangnya literasi digital terlihat dalam kasus pembakaran sekolah yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Temanggung akibat mengalami cyber bullying.
Siswa berinisial AR (14) membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati sering dirundung kawan-kawannya. AR diduga dirundung dengan cara dibully secara verbal dan di-bully di media sosial.
Berkaca dari dua peristiwa itu, Puan mengatakan literasi digital sangat berperan bagi anak agar dapat menyaring hal yang tidak baik dari gencarnya perkembangan teknologi.
“Literasi digital pada pembelajaran formal diharapkan membantu mengurangi kasus pelecehan di dunia maya, cyber bullying dan meningkatkan pemahaman anak-anak tentang dampak kata-kata dan tindakan online,” ucap perempuan pertama yang menjabat Ketua DPR itu.
Dengan literasi digital yang kuat, anak-anak dapat memahami sumber informasi, mengevaluasi potensi, dan membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan informasi yang didapat dari dunia maya.
“Literasi digital bukan lagi hanya menjadi pilihan, melainkan suatu keharusan bagi pendidikan anak-anak di masa kini dan masa depan,” tegas Puan.
BACA JUGA:
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) diminta memasukan pemahaman akan literasi digital dalam satuan pendidikan. Menurut Puan, implementasi Kurikulum Merdeka Belajar perlu memperhatikan dampak kemajuan era teknologi.
“Anak-anak yang dilengkapi dengan literasi digital dapat mengidentifikasi dan menghindari potensi risiko online seperti perundungan cyber, penipuan, dan konten yang tidak pantas. Mereka juga akan tahu cara melindungi privasi mereka secara online,” jelasnya.
Tak hanya siswa, guru pun disebut perlu memahami esensi dari literasi digital, termasuk konsep tentang kemajuan teknologi yang memengaruhi kehidupan siswa secara keseluruhan. Hal itu juga akan menjadi aksi penghalang dalam segala bentuk cyber bullying, cyber harassment dan cyber porn.
“Guru juga harus diberi pelatihan tentang keamanan digital, termasuk bagaimana melindungi informasi pribadi mereka sendiri dan memberikan nasihat kepada siswa tentang praktik keamanan online yang aman,” ungkap Puan.
“Mereka juga harus tahu cara menghadapi potensi ancaman seperti perundungan cyber bagi para siswa,” sambung cucu Bung Karno tersebut.
Lebih lanjut, Puan pun menekankan urgensi peran orang tua dalam membatasi anak menggunakan gadget. Ia menyebut, orang tua memiliki tanggung jawab untuk memastikan anak-anak memahami tentang etika digital
“Termasuk cara berinteraksi dengan orang lain secara sopan di dunia maya dan menghindari perilaku yang merugikan. Meski tidak melulu perilaku di dunia maya menjadi cerminan di dunia nyata, tapi sering kali keduanya saling berkesinambungan,” tutur Puan.
“Orang tua harus menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa nyaman untuk berbicara tentang pengalaman mereka di internet dan melaporkan masalah yang mungkin mereka hadapi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Puan menyoroti anak yang kecanduan game dan media sosial sehingga melupakan kehidupan nyatanya. Ia mengingatkan ada banyak contoh terjadi anak mengalami depresi atau masalah mental lainnya akibat kecanduan gadget.
“Tentunya hal tersebut berakibat fatal dalam tumbuh kembang anak. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain game dapat mengarah pada gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Anak-anak yang kecanduan game sering kali mengabaikan kewajiban sekolah dan sosial mereka,” papar Puan.
Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terdapat 1,5 juta anak usia 10-18 tahun mengalami depresi akibat kecanduan game pada tahun 2022. Karena itu, Puan mengajak para orang tua untuk menetapkan batasan waktu yang sehat untuk penggunaan gadget dan game.
“Pastikan anak-anak memahami batasan ini dengan tindakan tegas edukatif. Dorong anak-anak untuk lebih banyak berpartisipasi pada kegiatan positif dalam aktivitas lain di luar rumah dan sekolah,” imbau ibu dua anak tersebut.
“Awasi jenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak Anda. Pastikan game atau platform yang mereka gunakan sesuai untuk usia mereka dan tidak mengandung konten yang tidak pantas,” tambah Puan.
Puan juga meminta Pemerintah memberikan filter game bagi anak-anak.
“Harus ada batasan tegas agar anak tidak bisa mengakses game-game berbau kekerasan, kejahatan, atau yang bersifat porno, dan bentuk buruk lain. Ketegasan pembatasan atau filter game dari Pemerintah sangat penting,” katanya.
“Pemerintah harus bisa memastikan anak-anak tidak bisa mengakses game atau platform yang tidak sesuai dengan usianya. Karena game dapat memengaruhi perilaku anak di dunia nyata karena anak bisa mencontoh apa yang ada di dalam game,” tutup Puan.