Eksklusif, Wamenkominfo Nezar Patria: Setelah Perpres Publisher Rights Akan Dibentuk Komite yang Menjadi Wasit
Akhirnya Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau lebih dikenal dengan Publisher Rights di puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Langkah selanjutnya kata Wamenkominfo Nezar Patria, Dewan Pers mendapat kewenangan membentuk sebuah komite yang akan bertindak seperti wasit. Jika terjadi perselisihan antara media pers dan platform digital, komite yang akan menyelesaikan.
***
Pembahasan soal Publisher Rights sejatinya sudah dimulai sejak tiga tahun silam. “Alhamdulillah sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi 20 Februari 2024. Kenapa lama karena stakeholder-nya banyak dan berada dalam satu ekosistem yang besar, diskusinya agak komplek,” ujar Nezar Patria.
Memang perpres ini lanjut Nezar Patria tidak membutuhkan peraturan turunan. Sesuai dengan amanat Perpres, Dewan Pers akan membentuk sebuah komite. Komite ini akan bertindak sebagai wasit jika terdapat perselisihan antara media pers yang menjalin kerja sama B2B (business to business) dengan platform digital.
Anggota komite ini berjumlah sepuluh orang. Lima orang dari Dewan Pers dan lima lainnya dari para pakar independen yang diseleksi oleh kantor Menko Polhukam. “Yang berasal dari Dewan Pers tak boleh terafiliasi dengan perusahaan pers atau platform digital mana pun,” tegas Nezar.
Kepada perusahaan pers yang masih penasaran ia menyarankan untuk bertanya dan berkonsultasi dengan pihak Dewan Pers. Bagaimana cara kerja sama dengan platform digital agar terjadi prinsip keadilan dan fairness. “Yang penting kolaborasi itu saling menguntungkan dan fair,” lanjutnya.
Selain soal Publisher Rights, Nezar Patria juga membahas soal Artificial Intelligence alias AI yang perkembangannya amat pesat. “Kami dari Kemenkominfo sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri yang isinya panduan menggunakan AI secara etis. Jadi sudah ada panduan etika AI untuk industri. Lebih kepada hal yang sifatnya rujukan nilai. Jadi dia belum legally binding (mengikat secara hukum). Kami menyebutnya sebagai soft regulation atau soft law,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di kantor Kemenkominfo, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
Presiden sudah mengeluarkan Perpres No 32 tahun 2024 soal Publisher rights, kapan akan diimplementasikan?
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau lebih dikenal dengan Publisher Rights adalah perpres yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pers Indonesia. Tujuannya mendukung jurnalisme berkualitas dan menjaga keberlangsungan industri pers. Pembicaraan soal ini sudah tiga tahun lalu dimulai, alhamdulillah sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi 20 Februari 2024. Kenapa lama? Karena stakeholder-nya banyak dan berada dalam satu ekosistem yang besar, diskusinya agak komplek.
Apa saja yang diatur dalam perpres ini?
Pertama mendukung jurnalisme berkualitas dan kedua menjaga keberlangsungan industri media pers di Indonesia. Perpres ini mengatur secara detil soal dua poin itu. Platform digital wajib memfasilitasi konten-konten berkualitas yang dibuat publisher yang sesuai dengan UU Pers. Lalu memberikan upaya terbaik dalam rancangbangun algoritma, yang memberikan tempat untuk jurnalisme yang berkualitas. Dalam rangka menjaga keberlangsungan media diatur soal bagi hasil, semacam frame-work untuk kerja sama B2B (Business-to-business), antara publisher dan platform digital. Bisa juga bagi data aggregat, lisensi berbayar, dan bentuk kerja sama yang lain, silahkan saja bisa diatur sendiri. Yang penting kolaborasi itu saling menguntungkan dan fair.
Perpres ini hanya mengatur konten news yang dikomersialisasi. Untuk konten kreator tidak diatur meski pun pembuatnya adalah wartawan yang bekerja pada semua media profesional.
Apakah perpres ini masih membutuhkan aturan turunan lagi?
Tidak ada peraturan lagi, nanti akan dibentuk komite jika ada sengketa antara publisher atau perusahaan pers dengan platform digital. Komite ini dibentuk Dewan Pers yang anggotanya 5 unsur dari para pakar dan 5 unsur dari Dewan Pers. Para pakar akan diseleksi oleh kantor Menko Polhukam sebelum masuk. Yang berasal dari Dewan Pers tak boleh terafiliasi dengan perusahaan pers atau platform digital. Diharapkan komite ini bisa bekerja setelah terbentuk meski perpres ini berlaku efektif enam bulan setelah disahkan (pasal 19). Jika sudah ada perusahaan pers yang menjalin kerja sama dengan platform digital silahkan berjalan tanpa harus menunggu enam bulan. Jadi semua pihak dalam kurun waktu enam bulan ini melakukan persiapan, komunikasi dan dialog. Sehingga saat tiba waktunya sudah siap.
Apa reaksi dari perusahaan multinasional seperti Google, Yahoo, Youtube, dll., yang berpotensi akan menggunakan konten dari perusahaan pers?
Kami sangat mengapresiasi atas reaksi dari platform digital, terutama yang multinasional. Soalnya kepres ini berlaku untuk semua platform digital tanpa kecuali, baik search engine atau aggregator content.
Apakah semua perusahaan pers di dalam negeri sudah siap menyongsong pemberlakuan perpres ini dan untuk yang belum siap apakah akan ada pendampingan dari Kemenkominfo?
Sebagian sudah siap, karena sebelum Perpres ini disahkan pun sudah ada perusahaan pers yang menjalin kerja sama dengan platform digital. Kita tidak ingin ruang publik dipenuhi dengan konten hoaks dan disinformasi. Makanya perlu didukung konten bermutu dari perusahaan pers. Agar publik terlayani haknya untuk mendapat informasi yang bermutu.
Untuk perusahaan pers baru harus meng-upgrade diri agar siap lari bersama perusahaan pers yang sudah lebih dulu siap?
Betul, perusahaan pers bisa berkonsultasi dengan Dewan Pers yang akan membentuk komite, apa saja yang bisa dilakukan. Lalu bentuk kerja sama seperti apa yang fair dan saling menguntungkan dan seterusnya. Semoga pemberlakuan perpres ini berlangsung smooth dan lancar, kita bisa memperkuat ekosistem pers dengan jurnalisme berkualitas di Indonesia.
Perkembangan Artificial Intelligence (AI) amat pesat, bagaimana Kemenkominfo menghadapi hal ini?
AI ini bukan barang baru, 10 tahun terakhir sudah ada. Namun puncaknya dua tahun belakangan dengan munculnya Chat GPT. Semua terkaget-kaget dengan hasil Chat GPT. Chat GPT ini kita sebut sebagai generative IA, yaitu kecerdasan buatan yang bisa mengolah data dan bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda dan lebih kreatif. Ini berbeda dari masukan awalnya yaitu data. Dia bisa bikin report baru dan gambar yang baru. Dia bisa mentransformasikan bentuk lama ke bentuk yang baru tanpa menghilangkan unsur yang lama, jejaknya masih ada. Kemampuan dia membentuk sesuatu yang baru itu yang amat mengagumkan. Karena dia, terutama untuk Chat GPT dia ada sebuah bahasa besar yang disebut large language model. Bagaimana data itu diproses melalui model bahasa yang besar ini.
Yang menjadi kekhawatiran banyak orang, AI ini bisa lepas dari manusia. Karena dia bisa menyamai kecerdasan manusia. Ini disebut level autonomus dari AI. Makin dia autonomus makin dia bisa membuat keputusan sendiri. Sederhananya AI itu ada data masuk, model dan decision making. Dia sudah melaju cukup jauh dari data yang masuk dan dari apa yang dibayangkan manusia. Ini karena kecanggihan algoritma dan komponen lainnya yang ada pada AI.
Apa saja risiko hadirnya AI ini?
Kehadiran AI seperti yang ditampilkan Chat GPT dan yang lainnya memang memunculkan risiko. Dia bisa membuat halusinasi informasi, dia bisa mengarang bebas, seperti sesuatu yang benar, padahal belum tentu. Jadi harus dicek ulang hasilnya, kalau tidak bisa terkecoh. Jadi ini adalah teknik mengibul tingkat tinggi, soalnya hasilnya seperti nyata. Makin lama Chat CPT ini terus belajar, sehingga Chat CPT versi 4 halusinasinya makin sedikit.
Problem lain dia bisa membawa diskriminasi gender, RAS dan sebagainya. Lainnya adalah problem hak cipta. Dengan muncul berbagai problem ini membuat kami harus mengatur bagaimana penggunaan Chat GPT dan sejenisnya ini. Kita tak mau merugikan orang lain, membuat kekacauan informasi, apalagi pemakaian hasil kerja Chat GPT ini sudah digunakan berbagai platform. Dia bisa menjadi costumer service, jangan sampai informasi yang diberikan menyesatkan. Beberapa perusahaan kesehatan, transportasi sudah menggunakan AI.
Jadi tata kelola AI ini sedang digarap pemerintah?
Kami dari Kemenkominfo sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri yang isinya panduan menggunakan AI secara etis. Jadi sudah ada panduan etika AI untuk industri. Jadi lebih kepada hal yang sifatnya rujukan nilai. Dia belum legally binding (mengikat secara hukum). Kami menyebutnya sebagai soft regulation atau soft law.
Selanjutnya kami akan membuat aturan yang lebih rijid agar bisa punya dimensi legal. Tapi kami masih mencermati bagaimana perkembangan AI di dunia saat ini. Sekarang yang berkembang di dunia adalah AGI, Artificial General Intelligence. Atau super intelligence, ini sesungguhnya yang amat ditakutkan banyak pihak.
Baca juga:
Kenapa?
Karena dia membawa sejumlah risiko. Itu sebabnya UNI Eropa mengatur agar AGI ini memenuhi etik yang mereka tetapkan. Mereka membaginya ke dalam sejumlah risiko; low risk, medium risk, high risk dan unacceptable risk. Yang paling ditakutkan adalah unacceptable risk, karena data biometric bisa disalahgunakan. Bisa digunakan untuk melumpuhkan dan privasi orang jadi hilang.
Tahun 2020 pemerintah sudah menyusun Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas AI) 2020-2024, apa yang Anda paparkan tadi sudah mencakup?
Sebagian besar sudah mencakup, hanya harus diperkaya dengan perkembangan terbaru yaitu AGI. Ini yang sedang dikerjakan BRIN dan KORIKA (Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial) yang bekerja sama dengan Kemenkominfo.
Aturan dari pemerintah apa saja yang segera digulirkan?
Surat Edaran Menteri soal AI itu amat berguna bagi para pengembang AI. Kita juga sedang merumuskan sebuah aplikasi AI sebelum diluncurkan untuk publik dites dulu, bagaimana dia comply dengan aturan yang ada. Ini yang kerap dilakukan dalam aplikasi keuangan, karena ada risiko yang besar.
Bicara soal AI satu sisi mengancam jenis pekerjaan tertentu, namun di sisi lain muncul jenis pekerjaan baru, bagaimana harusnya publik mensikapi hal ini?
Dibutuhkan strategi nasional dalam penerapan AI, kita harus bikin keseimbangan dalam penggunaan emerging teknologi ini dengan angkatan kerja yang ada. Jadi mana saja yang kita digunakan AI dan tak akan membuat goyah sektor ekonomi kita. Untuk sektor padat karya mungkin kita tunda dulu sementara. Kita tidak menghambat teknologi, yang kita inginkan adalah keseimbangan. Soalnya 2030-2045 kita mengalami bonus demografi, jumlah angkatan kerja mencapai 60 persen tenaga kerja kita.
Yang jelas ke depan ekonomi dunia bergerak dalam bidang ekonomi digital. Di dunia kontribusi penggunaan AI makin lama makin besar prosentasenya. Untuk ASEAN di 2030 diprediksi akan tembus 1 triliun dolar Amerika. Dari jumlah itu 360 miliar dolar lebih akan disumbang oleh Indonesia. Ini tak bisa kita hentikan. Kita harus bekali tenaga kerja kita dengan keterampilan agar tak tertinggal.
Nezar Patria: Jangan Menyerah dan Putus Asa
Perkembagan teknologi yang amat pesat belakangan ini adalah tantangan yang harus dihadapi. Generasi muda, kata Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi Nezar Patria harus menghadapi semua ini dengan kepala tegak. “Tantangan ini harus dihadapi. Jangan pernah menyerah dan putus asa,” tegasnya.
Fluktuasi dalam kehidupan adalah hal yang wajar. “Kehidupan itu ada kalanya naik dan turun. Kalau kita jatuh, ya bangun dan bangun lagi. Selagi punya tenaga untuk bangkit, harus bangkit. Walaupun hanya bisa menegakkan kepala. Harus optimis menghadapi masa depan,” tegas Pria kelahiran Sigli Aceh, 5 Oktober 1970 ini.
Sikap optimis, lanjut Nezar amat penting untuk menjalani kehidupan. “Karena optimis adalah miliknya orang yang mau hidup di atas dunia ini. Kalau sudah tidak punya rasa optimis, sudahi saja hidup ini,” kata Nezar, aktivis yang sempat diculik di masa Orde Baru.
Tak pernah putus asa dan bekerja keras adalah modal utamanya untuk meraih kesuksesan. “Kita harus bersikap jujur dan terbuka, selalu meningkatkan skill dan adaptif dengan perkembangan teknologi. Itu yang akan membuat kita bisa bertahan,” kata pemenang Journalism for Tolerance Prize (2003) yang digelar International Federation of Journalist (IFJ) di Manila, Filipina, untuk liputan investigasi kerusuhan Mei 1998 yang dimuat di Majalah TEMPO.
Membaca dan Olahraga
Di luar kesibukan di kantor Nezar Patria suka membaca dan olahraga. “Sejak dulu saya sudah hobi membaca buku. Bermacam-macam jenis buku saya baca, dari buku sejarah, novel, sains, buku komunikasi dan media. Selain membaca saya juga menyempatkan nonton film,” ungkap Nezar yang juga putra dari tokoh Pers Aceh, mantan Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Sjamsul Kahar.
Untuk olahraga, beragam jenis sudah dilakoninya dari masa ke masa. “Saat masih SMP dan SMA saya berlatih beladiri dan tinju. Tapi sepertinya itu terlalu keras, akhirnya berhenti,” kata Nezar yang tujuh tahun menekuni Aikido, namun harus berhenti karena mengalami cidera punggung.
Saat kuliah di Fakultas Filsafat UGM, aktivitasnya lebih banyak dalam kegiatan perkuliahan dan organisasi. “Olahraga masih ada tapi cuma jalan kaki, hehehe,” kata Nezar yang menyelesaikan S2 Magister Sejarah Hubungan Internasional dari London School of Economics (LSE), Universitas London, Inggris.
Setelah bekerja di Jakarta, Nezar sempat rutin berenang. “Dulu sempat intens berenang. Namun pandemi COVID-19 membuat aktvitas berenang terhenti. Soalnya nyaris semua kolam renang tak beroperasi. Saya ingin berenang lagi, namun sekarang waktunya sulit. Yang bisa saya dilakukan adalah jalan pagi saja,” katanya.
Tentang Kuliner
Dulu saat masih muda, nyaris semua jenis makanan disantap. Namun kini ia mulai membatasi diri. “Saya tidak begitu doyan dengan daging merah, kalau ayam masih bisa. Yang paling saya suka tempe, mau goreng, dibikin sambal, dibacem atau dimasak apa pun suka,” aku pria yang menjadi anggota tim misi pembebasan wartawan RCTI Feri Santoro di Aceh yang disandera Gerakan Aceh Merdeka (2004).
Satu lagi yang amat disukainya adalah olahan hasil laut. “Saya ini pemakan seafood yang cukup progresif. Segala jenis ikan, udang, cumi saya suka,” kata pria yang lebih suka susu kedelai daripada susu sapi, karena ada kendala di lambungnya saat ia mengonsumsi susu sapi. “Saya tak tahan dengan laktosa susu, perut suka bermasalah kalau minum susu sapi,” lanjutnya.
Ia menyadari saat ini tak mudah menemukan makanan sehat, karena sudah banyak petani yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida berlebihan untuk meningkatkan produksi. “Penggunaan pupuk dan pestisida sekarang sudah banyak sekali dan pertanian dengan rekayasa genetika. Jika dikonsumsi untuk jangka panjang ini membuat kita tidak sehat,” kata Nezar, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia periode 2008-2011.
Masih Jadi Komuter
Meski sibuk dengan segudang aktivitas di Jakarta ia tak pernah alpa dengan kewajibannya sebagai kepala keluarga. “Sejak dulu hingga kini, saya ini komuter, kerja di Jakarta namun akhir pekan pulang ke Jogja untuk bertemu anak dan istri. Komunikasi dibangun dengan menggunakan telepon atau video call setiap hari, pagi, sore dan kapan pun,” ungkapnya.
Nezar mengawali karier sebagai wartawan di Majalah DR (1999-2000). Kemudian berlanjut ke Majalah Tempo sampai 2008. Bersama beberapa teman ia kemudian mendirikan portal berita VIVA.id (2008-2014). Karier jurnalistiknya terus melaju dan sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi CNN Indonesia (2014-2015) dan menjadi Pemimpin Redaksi The Jakarta Post sampai Pandemi COVID-19.
Sebelum dilantik Presiden Jokowi menjadi Wamenkominfo, ia sempat dipercaya menjadi Staf Khusus Menteri BUMN dan Direktur Gov Affair, Business Development, dan IT di PT Pos Indonesia (2020-2022). “Setiap zaman ada tantangan, para pendahulu kita juga mengalami yang tak kalah hebatnya dengan sekarang. Sekarang tantangan kita seputar teknologi, lingkungan hidup, energi dan pangan,” tegasnya.
Di tengah tantangan yang demikian berat, lanjut Nezar Patria, harus punya nilai. “Buat generasi muda, tujuan hidup itu harus jelas. Sehingga bisa mengisi hidup ini dengan lebih bermakna,” pungkasnya.
"Perusahaan pers bisa berkonsultasi dengan Dewan Pers yang akan membentuk komite, apa saja yang bisa dilakukan dengan platform digital. Lalu bentuk kerja sama seperti apa yang fair dan saling menguntungkan dan seterusnya. Semoga pemberlakuan perpres ini berlangsung smooth dan lancar, kita bisa memperkuat ekosistem pers dengan jurnalisme berkualitas di Indonesia,"