JAKARTA - Dunia jurnalistik dan media Indonesia memperoleh angin segar dan harapan, di tengah kondisi "sunset" ekosistem media karena hantaman disrupsi teknologi dewasa ini. Sebagian media konvensional terpaksa beradaptasi dengan mengubah platform medianya menjadi media online. Namun demikian media online pun juga mengalami kesulitan menghidupi diri karena ceruk iklan yang sebelumnya diandalkan media, hampir sebagian besar dikeruk oleh platform digital raksasa seperti Google, Meta, Microsoft, Apple dan Amazon.
Hegemoni raksasa digital seperti Google, Facebook dan Instagram di kelompok Metta itulah yang ingin dijembatani oleh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.
Menurut Wakil Menteri Kominfo, Nezar Patria, pengaturan itu akan menjadi salah satu kunci jaminan masa depan jurnalisme Indonesia yang berkualitas. Nezar menambahkan, Perpres ini dirancang untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan kedua belah pihak bernegosiasi dan mencapai kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan, katanya dalam siaran pers Kominfo, awal Maret lalu.
Perpres 32 Tahun 2024, dijelaskan Wamen mengatur dua tujuan utama yakni mendukung jurnalistik yang bermutu, serta menjaga sustainability media atau keberlangsungan industri media. "Untuk mendukung dua poin penting itu perpres ini mengatur detail-detailnya" katanya.
Untuk mendukung jurnalisme berkualitas platform, digital wajib memfasilitasi konten-konten yang distribusikan harus sesuai dengan UU Pers atau UU 40 Tahun 1999, juga memberikan yang terbaik dalam rancang bangun algoritma yang memberikan tempat buat jurnalisme berkualitas. Untuk keberlangsungan media, disana diatur tentang kesepakatan bagi hasil, lisensi berbayar, berbagi data agregat, dan bentuk- bentuk kerjasama yang lain, antara publisher dan platform digital bekerja sama membuat perjanjian B2B (business to business).
Menurut Wamen untuk mengatasi persoalan lain, misalnya mengatur hubungan antara platform digital dengan perusahaan pers, perpres itu mengamanatkan pembentukan sebuah badan independen berbentuk Komite. Komite itu dibentuk oleh Dewan Pers, dengan komposisi 5 orang berasal dari Dewan Pers, 5 orang dari kalangan pakar yang tidak berafiliasi dengan perusahaan pers dan platform digital dan 1 orang wakil dari pemerintah.
BACA JUGA:
"Komite ini akan mengawasi dan memenuhi kewajiban perusahaan digital, merekomendasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika ke menteri, dan menjadi penengah sengketa antara perusahaan digital dengan perusahaan pers," jelas Nazar dalam Interview dengan Voi.
Mesti pemberlakuan itu disebutkan dalam waktu 6 bulan sejak diteken. Namun menurut Nezar, ada sebagian publisher yang sudah membuat kesepakatan B2B dan membuat deal bisnis antara mereka, dipersilakan untuk jalan tanpa harus menunggu 6 bulan.
"Perpres ini hanya mengatur konten news yang dikomersialisasi, tidak berlaku untuk konten creator atau konten di Youtube, tidak termasuk dalam framework yang diatur oleh regulasi ini" tegas Nezar, saat wawancara dengan Voi, akhir Februari lalu.
Pembentukan Perpres ini berawal dari kepedulian Presiden Jokowi saat peringatan Hari Pers Nasional di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Februari 2020 lalu, terhadap nasib dan keberlangsungan media dan perusahaan pers, akibat dominasi platform digital. Sehingga kemudian presiden meminta komunitas pers mengajukan rancangan regulasi yang kemudian disebut regulasi publisher. Saat itu semangatnya menghasilkan rancangan Undang-undang.
Atas permintaan presiden untuk pembentukan regulasi itu kemudian berkembang terbentuknya tim Media Sustainability berdasarkan Surat Keputusan (SK) Dewan Pers. Dari diskusi Tim Media Sustainability menghasilkan rancangan regulasi Publisher Rights atau hak penerbit yang saat itu berjudul “Tanggung Jawab Platform Digital dan Jurnalisme Berkualitas. Rancangan regulasi itu kemudian diserahkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Johnny G Plate.
Menkominfo kemudian menyerahkan rancangan regulasi Publisher Rights itu kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk di jajaki kemungkinan masuk dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, dalam prosesnya regulasi itu tidak dimungkinkan masuk dalam revisi UU ITE.
Sehingga Deputi Hukum Sekretariat Kabinet memberi masukan agar draf rancangan itu masuk dalam regulasi berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Pada saat peringatan Hari Pers Nasional 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Presiden meminta kalangan pers untuk menyepakati memasukan regulasi itu ke undang-undang, revisi undang-undang, atau peraturan pemerintah.
Untuk menindaklanjuti arahan presiden Menkominfo mengumpulkan Dewan Pers dan para konstituen untuk mendiskusikan bentuk regulasi tersebut. Dan sempat disepakati regulasi berupa Peraturan Pemerintah, namun diskusi lebih lanjut berkembang bentuk regulasi itu akan berupa Peraturan Presiden (Perpres) dengan pertimbangan kecepatan kehadiran negara.
Selanjutnya atas saran Deputi Hukum Sekretariat Kabinet, Draf disempurnakan dengan standar legal drafting, dengan melibatkan konsultan dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kemenkominfo lalu mengirim draf tersebut ke Sekretariat Negara (Setneg) namun Setneg mengembalikan Draf tersebut, Kominfo diminta melengkapi dokumen persyaratan, termasuk dokumen rancangan yang telah melalui pembahasan oleh Kemenkominfo. Sehingga Kemenkominfo membentuk tim perumus Rancangan Perpres dengan kementerian /lembaga, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Setkab, Setneg, dan Kemenkopolhukam dan para platform digital.
Menurut Usman dalam menyusun perpres Kominfo sangat mempertibangkan prinsip kemerdekaan pers. Isi Rancangan Perpres itu adalah kewajiban kerja sama. Jadi, platform digital harus bekerja sama dengan media di Indonesia dalam penyaluran dan pemanfaatan berita."Yang diatur dalam rancangan itu adalah kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers," katanya.
Mempertahankan Perpres Publisher Right
Menurut Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, pemerintah tetaplah konsisten mempertahankan perpres publisher right. "Gertakan itu biasa. Perlawanan seperti itu biasa dilakukan di mana-mana. Perusahaan Digital itu juga pernah menolak pemberlakuan pendaftaran PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), mereka keberatan, karena memang ada konsekuensi dari itu terutama soal perpajakan. Di banyak negara mereka menghindari pajak, kalau bisa menghindari pajak tetapi mengambil sumberdaya keuangan sebesar besarnya,"katanya, saat dialog CNBC Indonesia, 6 Maret lalu.
Heru meyakini perusahaan sosial media itu akan berhitung dengan potensi pasar yang dimiliki Indonesia dengan 112 juta pengguna, dengan potensi pendapatan iklan yang mencapai triliunan rupiah.
Pernyataan yang sama juga disampaikan pakar ekonomi Indef, Nailul Huda yang menyebut platform sosial media raksasa itu pasti akan berhitung kemungkinan hilangnya potensial revenue jika mereka hengkang dari Indonesia. User Indonesia jumlahnya cukup besar sebagai pasar.
Sejauh ini belum ada sikap yang pasti dari perusahaan digital raksasa sepert Google dan platform lainnya menyikapi pemberlakuan perpres Publisher Rights oleh pemerintah Indonesia. Namun Communications Manager Google Indonesia, Feliciana Wienathan, mengatakan, “Kami memahami Pemerintah telah mengesahkan peraturan tentang penerbit berita, dan kami akan segera mempelajari detailnya. Selama ini kami telah bekerja sama dengan penerbit berita dan Pemerintah untuk mendukung dan membangun masa depan ekosistem berita yang berkelanjutan di Indonesia. Sangatlah penting untuk produk kami dapat menyajikan berita dan perspektif yang beragam tanpa prasangka dan bias," tulisnya menjawab pertanyaan Voi melalui surat eletronik.
Maka, Ia menambahkan, dalam upaya bersama ini, kami selalu menekankan perlunya memastikan masyarakat Indonesia memiliki akses ke sumber berita yang beragam, dan juga perlunya mengupayakan ekosistem berita yang seimbang di Indonesia - "Yaitu, ekosistem yang dapat menghasilkan berita berkualitas untuk semua orang, sekaligus memungkinkan semua penerbit berita, baik besar maupun kecil, untuk berkembang.” tulisnya lagi.