Menguji Logika PKS Turunkan Ambang Batas Capres untuk Kurangi Politik Identitas
JAKARTA - Partai Keadilan Sosial (PKS) mendorong revisi Undang-Undang Pemilu guna menurunkan presidential threshold atau ambang batas calon presiden (capres). Alasannya, partai berbasis Islam ini mencegah meningkatnya politik identitas. Alasan PKS itu dinilai hanyalah dalih semata demi bisa mengusung capres pada pemilu selanjutnya. Musababnya, politik identitas di Indonesia memang merupakan sebuah keniscayaan.
"Kita melihat 2 kali pilpres 2014 dan 2019 dengan 2 pasang calon itu buruk bagi demokrasi...Karena itu, PKS tegas menurunkan usulannya agar threshold untuk presiden itu 10 persen kursi DPR atau 15 persen suara sehingga ada banyak calonnya, ada kontestasi karya gagasan tidak ada lagi pembelahan ataupun politik identitas," kata Mardani.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin menyebut alasan PKS mendorong penurunan ambang batas capres normatif agar bisa diterima publik. "Penurunan ambang batas itu agar ada kader PKS bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres," kata Ujang saat dihubungi VOI.
Langkah mendorong pengurangan ambang batas pencalonan untuk mengurangi politik identitas memang perlu diapresasi. Namun, alasan seperti itu seperti menyuguhkan pepesan kosong. Pasalnya, politik identitas di negara ini sudah bergulir sejak lama.
Sebelum mengulas lebih lanjut bagaimana politik identitas bergulir di Tanah Air. Kita perlu mengetahui apa sebetulnya politik identitas.
Memahami politik identitas
Seperti ditulis Yeni Sri Lestari dalam Journal of Politics and Policy Universitas Brawijaya (2018) pada kajian politik, politik identitas perlu dibedakan dengan identitas politik. Political identity atau identitas politik diartikan sebagai konstruksi yang menentukan posisi kepentingan di dalam ikatan suatu komunitas politik. Sementara politik identitas itu sendiri merupakan mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial).
Dengan kata lain, politik identitas itu sebetulnya mengorganisasikan identitas politik. Para pelaku politik identitas memainkan identitas sosial seperti keagamaan, kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas serta identitas politik seperti nasionalisme dan kewarganegaraan.
Identitas tersebut diorganisasi sedemikian rupa untuk memunculkan rasa kepemilikan seseorang. Bahayanya, praktik ini juga acap kali menanam pemaham soal penandaan orang-orang yang berbeda dari kita secara identitas atau yang disebut dengan sense of otherness.
Dalam tulisannya yang bertajuk "Politik Identitas di Indonesia: Antara Nasionalisme dan Agama" Yeni menjelaskan persoalan politik identitas lebih ditujukan sebagai alat politik untuk mengais kekuasaan. Dalam praktiknya, politik identitas dapat dimaknai sebagai penggunaan retorika politik dengan sebutan kami bagi "orang asli" yang menghendaki kekuasaan. "Dan bagi 'orang pendatang' mereka harus melepaskan kekuasaan," tulisnya.
Pakar politik Hendri Satrio menjelaskan menghilangkan politik identitas merupakan sebuah keniscayaan. "Dari dulu juga yang digunakan politik identitas. Jawa, non-Jawa itu juga identitas," kata dia kepada VOI.
Politik identitas dalam dunia politik sudah berkelindan sejak lama. Hanya saja, tak serta merta digunakan langsung. "Karena kalau digunakan langsung, membuat pecah belah."
Sementara yang membuatnya menjadi buruk adalah ketika politik identitas digunakan secara berlebihan. "Misalnya: jangan pilih orang Jawa hanya pilih etnis tertentu saja. Nah itu berlebihan itu tidak boleh," ujar Hendri.
Penggunaan politik identitas untuk promosi menurut Hendri masih dibolehkan. Namun ia menegaskan jangan sampai ada hal yang sifatnya penghukuman.
"Misal untuk promosi, ayo pilih orang Jawa karena orang Jawa itu ramah, itu boleh. Tapi kalau untuk hukuman, seperti harus pilih orang Jawa kalau tidak maka tak boleh tinggal di Jawa, itu berlebihan," bebernya.
Praktik politik identitas
Menurut Mayrudin dan Akbar dalam tulisannya yang dimuat Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan MADANI (2019) menyebut politik identitas memang kerap dilakukan oleh partai politik dalam mencapai target elektoral tak terkecuali PKS. "Politik identitas kerap dipratekkan oleh PAN, PKB, dan PKS dan menjadi keharusan dalam mencapai target elektoral," tulisnya.
Menurut Mayrudin dkk (2019) praktik politik identitas bisa dilihat dari fenomena politik pada 2017. "Menguatnya sentimen identitas Islam ketika pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan menjelang pemilu 2019, melalui Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF-MUI yang menyedot perhatian publik."
Mayrudin dkk menjelaskan mobilisasi politik melawan kasus penistaan agama yang dilakukan Gubernur Jakarta pada waktu itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, telah membuka ruang politik krusial. Salah satunya "soal partai Islam termasuk PKS yang berupaya memanfaatkan momentum tersebut dengan memperbesar wacana politik identitas yang memang sudah mereka suarakan."
"Karakteristik yang melekat pada satu kelompok dalam hal ini partai bercorak Islam adalah tumbuhnya perasaan dalam satu komunitas berlabel identitas keagamaan di antara para anggota atau kadernya. Perasaan tersebut menimbulkan kesadaran akan hubungan yang kuat. Selain itu tumbuh juga perasaan "kekitaan" pada diri anggotanya masing-masing," tulis Mayrudin dkk.
Sementara itu, setahun pasca pilkada DKI, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid sendiri pernah mengatakan tak khawatir politik identitas akan memecah belah bangsa. Waktu itu orang yang kerap disebut HNW ini meminta politik identitas tak diartikan secara negatif. Sebab, hal itu tak bisa dilepaskan dari individu dan praktik politik.
"Karena politik identitas itu ada di mana-mana jadi identitas bisa identitas partai sekuler dan identitas agama Islam, bisa identitas agama Kristiani, Indonesia juga identitas. Aneh kalau tidak ada identitas. Kita identitasnya apa? Kita kan Indonesia. Indonesia identitas lho." kata HNW.