JAKARTA - Di tangan presiden Jokowi demokrasi kualitasnya menurun, daya tahan demokrasi melemah (freedom of spech, freedom of ekspresion). Turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam laporan ini, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme; 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah; 6,11 untuk partipasi politik; 4,38 untuk budaya politik; dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
Kita sangat berharap wacana presiden merevisi UU ITE tidak hanya sekedar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik keinginan presiden di DPR, sebagaimana presiden bisa intervensi pilkada di tunda 2024 lewat kaki tangan tokoh sentral ketua umum partai politik.
Logikanya revisi UU ITE mestinya juga bisa, kalau ada yang menolak, presiden harusnya bisa mengatasi masalah tersebut, sebab presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang punya legitimasi, kekuasaan dan pengaruh yang cukup kuat dalam desain sistem presidensial Indonesia.
Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline. Bahkan Freedom House dijadikan sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi.
Penghormatan pada kebebasan sipil dan termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas. Freedom House bisa memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang demokrasi dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan mengadakan perkumpulan.
Sistem otoriter adalah sistem yang selalu curiga pada manusia dan kebebasannya. Kalau sistem demokrasi sebaliknya negara yang terus dicurigai dan diawasi ketat oleh manusia dan kebebasannya. Era presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara over dosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya.
Presiden menjelma bagai dewa yang anti kritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
Syukur presiden sudah siuman sehingga ada niat untuk revisi UU ITE ini, tapi apakah ini hanya sebatas dagelan politik atau panggung sandiwara belaka?
Dari awal kita sudah khawatir dengan pasal karet UU ITE yang bernafsu membungkam kebebasan berpendapat (freedom of speech) ujungnya memenjarakan pikiran sehat yang terkenal vokal mengkiritik pemerintah, sudah terlalu banyak jatuh korban ulah pasal ini.
Presiden seolah siuman setelah negara kehilangan vitamin, akibat keringnya kritik, sementara puji pujian terhadap pemerintah mengalami obesitas.
Fenomena warga negara yang kritis (critical citizen) yang ada dalam ruang wilayah sistem demokrasi yang ideal, kemunculan warga yang kritis menstabilkan kehidupan politik, kehadiran ciritical democracy mengindikasikan kehidupan politik yang sehat apabilla diikuti dengan tekanan untuk perbaikan institusional
Dalam demokrasi, salah satu yang dijamin adalah kebebasan sipil. Kebebasan sipil dapat diartikan sebagai “kebebasan individu warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagai warga negara untuk mengejar cita-citanya, untuk merealisasikan dan mengekspresikan dirinya secara penuh, terlepas dari bawa-bawaan primordial yang melekat.
Kebebasan sipil dalam demokrasi yaitu; a) kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat, (2) kebebasan berkumpul dan berorganisasi dan; 3) kebebasan beragama dan berkeyakinan. Contoh organisasi yang sudah dibubarkan negara tanpa lewat mekanisme demokrasi dalam hal ini otoritas pengadilan, apakah betul FPI dibubarkan karena radikal atau hanya karena kritis pada penguasa? kebebasan beragama soal polemik jilbab melalui regulasi peraturan SKB 3 menteri, toleransi sepihak yang juga cenderung tidak adil dan nampak diskriminatif.
Turunnya indeks demokrasi Indonesia jelas punya konsekuensi logis terhadap tingkat kepercayaan dunia untuk berinvestasi di Indonesia, terkait pinjaman dan lain lain.
Meminjam pendapat Sir Churchil “konon demokrasi adalah pemerintahan terburuk, kecuali jika semua bentuk lain yang pernah dicobakan dari waktu ke waktu”
Pangi Syarwi Chaniago
*Analis Politik
*Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Redaksi VOI menerima opini, gagasan hingga analisa dari para pembaca mengenai sebuah peristiwa. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi dan sepenuhnya ada di tangan penulis. Tulisan bukan gambaran sikap redaksi. Silakan kirim karya Anda ke [email protected].