JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengugat syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia memohon agar MK menghapus syarat yang termaktub di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam pokok permohonan, Rizal Ramli menilai syarat ambang batas 20 persen telah menimbulkan kegaduhan politik dan polarisasi dukungan masyarakat di Pilpres 2014 dan 2019. Sebab dalam dua gelaran Pilpres tersebut, hanya menghadirkan dua pasangan calon yang memenuhi syarat Presidential Threshold.
"Penyelenggaraan Pilpres 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua capres yang sama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, telah memberikan pelajaran berharga bagi para pembentuk kebijakan untuk mengeliminasi atau menghapus pemberlakukan Presidential Threshold, karena telah melahirkan kegaduhan politik (polarisasi dukungan politik) yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman masyarakat," isi gugatan Rizal Ramli seperti termuat di situs MK, Senin, 7 September.
BACA JUGA:
Selain itu, kata Rizal, syarat ambang batas pencalonan yang menghadirkan dua pasangan calon di Pilpres telah membuat masyarakat terbelah. Padahal, sejatinya pemilihan umum harus mengedepankan prinsip keadaban, sopan santun, tertib dan damai, tidak malah menimbulkan ketakutan bagi pemilih dalam menyampaikan aspirasi dan pilihan politiknya.
"Penerapan Presidential Threshold yang hanya menghadirkan dua paslon terbukti menghadrkan politik identitas, sebaran hoaks, dan eksploitasi ujaran kebencian yang menjadikan masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar," imbuhnya.
Rizal mencontohkan beberapa peristiwa yang menunjukkan terbelahnya masyarakat saat Pilpres dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bahkan dalam skala yang lebih besar, kata Rizal Ramli, pembelahan dukungan politik mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Bawaslu pada 21-23 Mei 2019 yang total korbannya berjumlah 893 orang, sembilan di antaranya meninggal dunia.
Tak hanya membuat perpecahan dalam masyarakat, pencalonan presiden hanya dapat dilakukan melalui partai politik yang punya suara besar. Hal ini dinilai pemohon sebagai upaya partai besar untuk menghilangkan pesaing dalam Pilpres.
"Aturan Presidential Threshold merupakan upaya terselubung, bahkan terang-terangan, dari partai-partai besar untuk menghilangkan pesaing atau penantang dalam pemilihan presiden," bunyi petikan permohonan.
Oleh karena alasan-alasan itu, Rizal bersama Abdulrachim Kresno dan didampingi kuasa hukum Refly Harun meminta MK untuk menghapus ketentuan tentang syarat ambang batas Presidential Threshold. Menurut dia, pemilihan umum presiden yang berkualitas memerlukan persaingan yang adil serta diikuti lebih banyak kandidat terbaik.
"Kami mengajukan uji materi terhadap ketentuan ambang batas presiden. Kami menginginkan ketentuan ambang batas presiden itu nol persen alias tidak ada," ujar kuasa hukum pemohon, Refly Harun, seperti dikutip dari Antara.
Pasal 222 UU Pemilu
Adapun syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold, kerap digugat di MK. Ambang batas presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres.
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," bunyi Pasal 22 UU Pemilu.