Kisah Mahfud MD Diangkat Gus Dur Jadi Menhan

JAKARTA - Tiada yang meragukan eksistensi Mahfud MD sebagai intelektual Indonesia. Mahfud tak hanya dielu-elukan sebagai ahli hukum tata negara, tapi juga sebagai sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU). Tindak-tanduk itulah yang kemudian membuat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepincut.

Presiden Indonesia ke-4 itu menyayangkan luasnya pengetahuan jika hanya dimanfaatkan di ruang kelas. Mahfud pun diangkat Gus Dur menduduki jabatan prestisius: Menteri Pertahanan (Menhan). Suatu jabatan yang membutuhkan nyali tinggi.

Pendidikan adalah jalan utama mengasah kepekaan. Suatu ajian yang membuat seseorang lebih peka terhadap urusan bangsa dan negara. Mahfud MD pun pernah merasakannya. Ia yang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) kerap terpanggil membela rakyat.

Ia pun memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai corong menyurakan nasib rakyat Indonesia pada 1970-an. Semua itu dilakukan Mahfud karena pemerintahan Orde Baru (Orba) kian menyengsarakan rakyat.

Mahfud MD sebagai Menkopolhukam saat bersilaturahmi ke kediaman istri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Sinta Nuriyah, di Ciganjur, Jakarta Selatan. (Antara/HO-Instagram Mahfud MD)

Kegiatan Mahfud dan kawan-kawannya mendapatkan dukungan dari sana sini. Sosok pendekar hukum Indonesia, Artidjo Alkostar yang notabene dosen Mahfud juga mendukung. Namun, Mahfud tak serta-merta memilih karier sebagai politikus kala selesai kuliah.

Mahfud sama sepertinya dosennya, Artidjo justru memilih untuk mengabdikan diri kepada almamater. Mahfud aktif sebagai dosen UII, sembari ia tetap melanjutkan pendidikan S-2, hingga S-3 di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Rangkaian pendidikan itu membuat Mahfud jadi guru besar di UII. Prestasi Mahfud lalu mengundang pujian. Banyak tokoh nasional menganggap Mahfud seorang intelektual yang cerdas. Mahfud juga dikenal aktif pula sebagai tokoh penting NU.

Sederet prestasi itu membuat petinggi NU, Gus Dur kepincut. Anak dari Wahid Hasyim itu menyayangkan nyali dan pengetahuan Mahfud hanya disebarkan lewat ruang kelas saja, Gus Dur ingin kecerdasan Mahfud digunakan untuk tujuan lebih besar: menata Indonesia.

Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Menko Polhukam menjamin keamanan dan situasi yang kondusif jelang Natal dan Tahun Baru 2020. (Antara/M Risyal Hidayat)

“Mahfud MD adalah seorang politisi senior yang memiliki latar belakang modernis dan tradisionalis dari aktivisme islam. Mahfud aktif dalam organisasi mahasiswa islam modern, HMI. Dia juga pernah ditunjuk sebagai ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) serta menjadi tokoh penting di NU.”

“Memang benar bahwa HMI bukan asosiasi mahasiswa bentukan NU, meskipun banyak anggotanya, seperti Mahfud sendiri, memiliki afiliasi dengan NU. Presiden Gus Dur yang kepincut dengan rekam jejak Mahfud, kemudian membawanya jadi tokoh politik terkemuka,” terang Syafiq Hasyim dalam buku The Shariatisation of Indonesia (2023).

Nyali Mahfud Jadi Menhan

Kekaguman Gus Dur kepada Mahfud terus disuarakan. Sekalipun Gus Dur kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia sedari 1999. Gus Dur ingin Mahfud ambil bagian dalam menata Indonesia.  Alih-alih hanya meminta Mahfud bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Dur justru memintanya memegang jabatan tinggi: Menhan.

Mahfud tak langsung menerima pinangan Gus Dur. Ia coba menawar. Pertimbangan Mahfud sederhana. ia mengganggap dirinya tak cocok dengan posisi itu. Apalagi, Mahfud tak punya latar belakang apapun dalam tentang militer atau ilmu militer.

Mahfud ingin Gus Dur menempatkannya ke bidang yang dikuasai, misalnya hukum tata negara. Gus Dur menjawab Mahfud dengan sekenanya. Gus Dur meminta Mahfud mencontohnya yang jadi Presiden Indonesia tanpa ada latar belakang. Semuanya hanya soal nyali dan keberanian melakukan tindakan konkret.

Nyali Mahfud pun tertantang. Ia secara resmi menjabat sebagai Menhan pada 26 Agustus 2000. Gus Dur pun berpesan kepadanya bahwa jika ada hal yang sulit dalam hal menjalankan kuasa, Mahfud diminta berguru kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Mahfud MD saat bermain tenis meja di sela pertemuan dengan Sahabat Muda Mahfud di Posko Teuku Umar No. 9, Menteng, Jakarta, Kamis (30/11/2023). (Antara/Muhammad Adimaja)

Gus Dur merasa SBY (Kemudian jadi Presiden Indonesia ke-6) dapat menjadi mentor yang baik bagi Mahfud. Saran itu diikutinya. Pun kemudian Mahfud jadi akrab dengan SBY. Segala macam tugasnya sebagai Menhan dijalankan dengan terukur. Bahkan, Mahfud berani berseberangan dengan Gus Dur dalam kondisi yang menurutnya benar.

Puncak Nyali Mahfud memimpin Kemenhan dilihat dari keberaniannya bersilang pendapat dengan Dubes AS, Robert Sidney Gelbard. Mahfud berani menuduh Gelbard mencoba memengaruhi pemilihan Kepala Satuan Angkatan Darat (KASAD) TNI.

Konflik lainnya yang tak kalah menyita perhatian adalah keberanian Mahfud memaksa Aoron Ward Mannes yang dicurigai mata-mata AS untuk dideportasi. Serangkaian konflik itu membuat nama Mahfud melejit. Boleh jadi jabatan Mahfud sebagai Menhan singkat (26 Agustus 2000-20 Juli 2001), namun cukup membekas.

“Konflik lainnya antara Dubes Gelbard dengan Menhan Mahfud terjadi ketika aparat keamanan menangkap Aaron Ward Mannes karena kegiatan mata-mata. Mannes didakwa mencoba mengacaukan situasi dan terkait dengan kerusuhan di Papua. Karena tindakannya ini, Mannes dideportasi melalui bandara Soekarno-Hatta. Namun sesaat sebelum dideportasi Dubes Gelbart mengambilnya lalu membawanya ke Kedubes AS.”

“Kedubes AS pada tanggal 2 Oktober 2000 juga membantah jika pihaknya akan menerapkan sanksi embargo ekonomi kepada Indonesia berkaitan dengan kasus Atambua. Isu mengenai embargo ekonomi ini muncul ketika Menhan AS William Cohen mengunjungi Indonesia beberapa saat setelah terjadi kerusuhan di Atambua. la mengancam AS akan menjatuhkan sanksi ekonomi jika Indonesia tidak menyelesaikan secara tuntas kerusuhan di Atambua yang menewaskan tiga orang karyawan UNHCR,” ungkap Poltak Partogi Nainggolan dalam buku Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Demokratis Pasca-Soeharto (2021).