Franz Beckenbauer Pernah Menelanjangi Kekurangan Sepak Bola Indonesia
Legenda sepak dunia asal Jerman, Franz Beckenbauer (tengah). (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Franz Beckenbauer pernah jadi magnet sepak bola Jerman. Aksinya memainkan si kulit bundar benar-benar memukau seisi dunia. Ia bak penakluk dunia sepak bola. Etalase piala dan penghargaan pribadi yang didapatnya bejibun. Dunia baru saja dikejutkan dengan kepergian Beckenbauer pada 7 Januari 2024. Dia meninggal dunia dalam usia 78 tahun di Salzburg, Austria karena sakit.

Beckenbauer tak saja sukses sebagai pemain, tetapi juga sebagai pelatih. Persatuan Sepak Seluruh Indonesia (PSSI) kepincut. PSSI mengundangnya pada 1990-an. Organisasi itu memintanya ‘menelanjangi’ kekurangan sepak bola Indonesia yang dianggap tak maju-maju.

Sepak bola sebagai jalan hidup bukan cuma monopoli rakyat Brasil saja. Narasi itu juga diamini oleh rakyat Jerman – khususnya Jerman Barat. Franz Beckenbauer, utamanya. Pria kelahiran Munchen 11 September 1945 berani menggoreskan mimpi jadi pesepakbola kesohor dunia.

Semesta mendukung. Jalannya di dunia sepak bola terbuka lebar. Ia memulai karier sepak bolanya dengan bergabung dengan tim junior SC Munchen ’06. Mulanya ia memilih posisi sebagai penyerang tengah.

Saban hari ia terus berlatih dan mencetak gol. Sekalipun kemudian ia memilih menjadi libero, pemain belakang yang memiliki kebebasan bertahan dan menyerang. Posisi itu membuat Beckenbauer mampu mengasah bakatnya membaca permainan.

Franz Beckenbauer usai membawa Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1974 bersama Gerd Muller (kiri) dan pelatih Helmut Schon. (Wikimedia Commons)

Hasilnya gemilang. Ia mampu cepat tanggap dalam melakukan skema serangan balik dan mencetak gol. Kemampuan itu membuat Bayer Munchen kepincut. Beckenbauer direkrut tim berjuluk Fc Hollywood pada 1959.

Ia memulai kariernya dari tim junior, kemudian dimasukan dalam tim senior pada 1964. Semenjak itu prestasinya bersama Munchen melejit. Kebersamaannya dengan Munchen mampu membuatnya dikenal di seantero dunia.

Ia mampu membawa Munchen mendapatkan banyak gelar juara. Antara lain empat gelar Bundesliga, empat trofi Piala Jerman (DFB Pokal), tiga gelar Piala Eropa (Kini: Liga Champions), satu Piala Winners, dan juara Piala Interkontinental (kini: Piala Dunia Antar Klub).

Seisi dunia pun menjulukinya Der Kaiser (Sang Kaisar). Alih-alih hanya cemerlang di level klub, kehebatannya bermain untuk Timnas Jerman Barat juga tak kalah memukau. Ia mampu membawa negara meraih trofi Piala Dunia 1974 sebagai tuan rumah.

Beckenbauer lalu mencari tantangan baru. Ia memilih pindah ke Amerika Serikat untuk bergabung ke New York Cosmos pada 1977. Ia bermain tiga musim saja bersama New York Cosmos. Bahkan, bersama New York Cosmos, Beckenbauer pernah melakukan pertandingan persahabatan melawan Timnas Indonesia pada 3 Oktober 1979. New York Cosmos mengalahkan Indonesia dengan skor 4-1 di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Franz Beckenbauer saat bermain untuk tim New York Cosmos dalam pertandingan liga sepak bola Amerika Serkat, MLS di East Rutherford, New Jersey pada 1 Mei 1983. (AP) 

Karier gemilang sebagai pemain membuat Beckenbauer tentantang berperan sebagai pelatih Jerman Barat. Keputusan itu dianggapnya sebagai panggilan nurani. Nyatanya, Sosok Beckenbauer –sebagai pemain atau pelatih-- sama-sama menakutkan bagi lawan. Buktinya Beckenbauer mampu membawa negaranya meraih Piala Dunia 1990 di Italia.

''Saya mengambil pekerjaan itu karena liga nasional sedang terpuruk. Sepak bola di seluruh Jerman telah menurun sejak tahun 1974, ketika kami masih menjadi juara. Seseorang harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya, dan orang-orang terus mengatakan hanya saya yang bisa melakukannya.''

''Kami telah mengelola semua ini tanpa ada pemain muda yang berkembang. Kami harus bergantung pada para veteran, seperti Piala Dunia lalu. Tentu saja, kami juga mencapai final empat tahun lalu, namun posisi kedua tidaklah cukup bagi saya.'' Terang Beckenbauer sebagaimana dikutip Alex Yannis dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Beckenbauer: Reticent Coach (1986).

Indonesia Kepincut

Seisi dunia mengagumi karier gemilang Beckenbauer, sebagai pemain dan pelatih. Indonesia, apalagi. PSSI pun kepincut dengan bakat emas yang dimiliki Sang Kaisar. Ketua Umum PSSI periode 1991–1998, Azwar Anas sampai mengundang Beckenbauer secara khusus ke Indonesia pada 1990-an.

Beckenbauer kala itu sengaja didatangkan untuk menggali alasan kenapa sepak bola Indonesia tak maju-maju. Apalagi, Indonesia kerap sulit sekali mencari 11 putra terbaik plus cadangannya dari total 200 juta jiwa rakyat Indonesia.

Pucuk dicinta ulam tiba. Beckenbauer cukup antusias. Ia pun meluangkan banyak waktunya untuk datang dan membantu PSSI menggali masalah. Ia memulai perjalanannya di Indonesia dengan melihat pelatihan pemain junior.

Sebagai pelatih, Franz Beckenbauer mampu membawa Jerman menjuarai Piala Dunia 1990. (Deutsches Fussballmuseum)

Ia pun juga diajak oleh PSSI untuk berkeliling ke pelosok negeri. Beckenbauer dengan serius meneliti terkait perkembangan sepak bola Indonesia di daerah-daerah. Perjalanan itu membawakan hasil. Legenda hidup Jerman itu mampu memberikan banyak masukan kepada PSSI.

Masukan itu diberikan langsung kepada PSSI. Pun beberapa di antaranya diterapkan oleh PSSI. Andil Beckenbauer membantu perkembangan sepak bola Indonesia di sambut dengan gegap gempita. Sumbangsih itu jadi bukti bahwa Beckenbauer memiliki dedikasi yang besar memajukan sepak bola dunia.

“Pada akhirnya ia menyampaikan beberapa kesimpulan tentang kondisi sepak bola Indonesia. Pertama, ia berasumsi bahwa hanya 10-15 persen anak Indonesia yang tahu teknik mengolah bola, sedangkan yang 85 persen hanya bermain secara alamiah.”

“Kedua, ternyata semangat pemain dan penonton terhadap sepak bola di Indonesia sangat besar. Menurut Beckenbauer, penyebab tidak majunya sepak bola Indonesia adalah kualitas pelatih yang tidak beres, wasit-wasit perlu ditingkatkan kualitasnya, sistem pelatihan kelompok umur secara bertingkat tidak berkesinambungan, dan sistem kompetisi bermasalah,” terang Azwar Anas sebagaimana ditulis Abrar Yusra dalam buku Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang (2011).