JAKARTA – Memori hari ini, 23 tahun yang lalu, 10 Januari 2010, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengungkap sel mewah napi koruptor di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ada napi korupsi, Artalyta Suryani alias Ayin di baliknya. Wanita yang dijuluki ratu lobi itu bak diistimewakan.
Imbasnya ke mana-mana. Seisi Indonesia mengecam penegak hukum Indonesia. Sebelumnya, Ayin dikenal sebagai pengusaha yang kedapatan ingin menyuap penegak hukum. Aksi suap itu membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi.
Narasi hukum Indonesia dapat dibeli dengan uang bukan barang baru. Perilaku penegak hukum yang kian melanggar etika dan mudah disuap ada di baliknya. Kondisi itu kemudian diperparah dengan mencuatnya nama pengusaha dan Ratu Lobi asal Lampung, Ayin.
Sosoknya dielu-elukan sebagai penjahat yang mampu menelanjangi bobroknya hukum Indonesia. Ayin menghebohkan seisi Nusantara karena kedapatan melobi hingga menyuap Jaksa Urip Gunawan. Penyuapan itu dilakukan untuk melicinkan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan aktor utama pemilik Bank Dagang Indonesia, Sjamsul Nursalim.
Fakta itu membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat. Mereka menangkap Urip, kemudian Ayin. Uang Rp6 miliar jadi bukti aksi penyuapan itu berlangsung. Ayin beralibi uang yang diberikan kepada Urip adalah pinjaman modal usaha. Namun, KPK dan penegak hukum lainnya tak mudah percaya.
Ayin segera diperiksa dan ditindak. Sidangnya dikebut. Hasilnya Ayin divonis bersalah dan dihukum lima tahun penjara dengan denda sebesar Rp250 juta pada 2008. Kondisi itu membuat Ayin harus mendekam di Rutan Pondok Bambu.
Hukuman yang diberikan kepada Ayin diharapkan dapat menjadi efek jera. Karenanya, tindak-tanduk korupsi di Indonesia dapat direduksi. Sekalipun banyak juga yang merasa kecewa karena hukuman yang diberikan kepada Ayin terlalu rendah. Banyak yang menghendaki hukuman yang diberikan adalah hukuman maksimal, penjara seumur hidup.
“Sebelum menangkap Artalyta, KPK terlebih dulu membekuk Urip. Drama, penangkapan Koordinator Tim Penyelidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut terjadi di depan kediaman Artalyta di Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9, Jakarta Selatan. Pemberian uang itu diduga terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, yang dua hari sebelumnya dinyatakan tak bersalah oleh Kejaksaan Agung.”
BACA JUGA:
“Tapi di persidangan Artalyta menegaskan uang Rp 6 miliar adalah pinjaman modal usaha kepada Urip. Tak sekadar ngomong, bukti proposal pinjaman Urip kepada Artalyta dan kuitansi tanda serah terima uang Rp 6 miliar juga dimunculkan di persidangan dua pekan lalu. Proposal dan kuitansi itu diserahkan Kaligis kepada majelis hakim yang diketuai Teguh Harianto,” terang Martha W. Silaban dan Munawwaroh dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Akhir Bengkel Suap Ayin dan Urip (2008).
Nyatanya kekecewaan rakyat terhadap hukuman yang diberikan kepada Ayin kian menjadi-jadi. Semuanya karena Satgas Pemberantasan Mafia Hukum berani menyidak sel mewah yang dihuni oleh Ayin di Rutan Pondok Bambu pada 10 Januari 2010.
Inspeksi tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menemukan fakta yang membuat seisi Indonesia marah. Alih-alih Ayin disamaratakan dengan narapidana lain, ia justru diistimewakan dengan ditempatkan dalam sel bersama fasilitas mewah, dari ruang tamu mewah hingga memiliki dapur.
Bahkan, kala inspeksi sedang dilakukan Ayin sedang melakukan perawatan kecantikan di rutan. Ayin pun mengaku ia dengan bebas mengatur segala macam bisnisnya dari penjara. Kondisi itu membuat potret penegakan hukum Indonesia jatuh ke level terendah. Empunya kuasa pun akhirnya memindahkan Ayin dari Rutan Pondok Bambu ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang.
”Saya, kan, punya banyak karyawan, Pak. Sekitar 80 ribu orang karena perusahaan saya menerapkan metode plasma-inti perkebunan kelapa sawit dan perusahaan properti. Kalau tidak saya urus, bagaimana nasib mereka, masa mau di-PHK semua?” ujar Ayin sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 12 Januari 2010.