Wacana Pembebasan Napi Koruptor yang Dianggap Tak Masuk di Akal
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Di tengah pandemi COVID-19, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly berencana melakukan revisi PP Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan.

Revisi ini dilakukan agar napi koruptor yang berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa tahanan bisa dibebaskan untuk mengurangi penyebaran virus corona di lapas.

Wacana pembebasan tersebut dianggap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadana sebagai bukti Yasonna memandang korupsi bukanlah kejahatan luar biasa seperti yang ada dalam PP Nomor 19 Tahun 2012. Padahal dalam PP tersebut dijelaskan sejumlah kejahatan mempunyai ketentuan berbeda untuk pemenuhan hak narapidananya.

Kejahatan yang dimaksud adalah tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia (HAM) yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

"Penting untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia," kata Kurnia seperti dikutip VOI dari keterangan tertulisnya, Jumat, 3 April.

Menkumham, kata Kurnia, juga membuat para koruptor tak jera melakukan korupsi karena membebaskan mereka dengan dalih menghindarkan mereka dari penyebaran COVID-19 di lapas. Sebab, selama ini para koruptor kerap mendapat hukuman ringan sekitar dua sampai lima tahun dan mereka kerap mendapatkan kemudahan di lembaga permasyarakatan dengan menyuap para petugas.

Daripada membebaskan napi koruptor, Kurnia meminta Yasonna berfokus membebaskan narapidana dari kasus hukum lainnya. Apalagi data Kemenkumham tahun 2018 menunjukkan napi koruptor jumlahnya hanya 4.552 orang dari jumlah total napi yang mencapai 248.690.

"Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi," tegasnya.

Alasan Yasonna membebaskan napi koruptor karena virus corona juga dianggap terlalu mengada-ada oleh Kurnia. Sebab, salah satu lembaga permasyarakatan yaitu Lapas Sukamiskin, Bandung memberikan keistimewaan bagi para napi koruptor.

Dalam lapas tersebut, para napi koruptor mendapatkan keistimewaan satu sel tahanan untuk satu orang. Ini jelas berbeda dengan keadaan lapas lainnya yang dalam satu sel tahanan dihuni puluhan orang.

Selain itu, pengajuan revisi bagi napi koruptor ini harusnya menimbulkan tanda tanya. Sebab, ini bukan kali pertama Yasonna mengajukan revisi peraturan tersebut selama menjabat sebagai Menkumham.

ICW mencatat, politikus PDI Perjuangan ini sudah meminta revisi PP 99 Tahun 2012 sebanyak empat kali yaitu sejak tahun 2015 hingga tahun 2017 dan dilanjutkan pada tahun 2019. Isu yang dibawa Yasonna pun selalu sama, ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.

Padahal, menurut banyak pihak peraturan itu adalah peraturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi.

Sehingga, Kurnia kemudian berharap Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menolak wacana Yasonna jika benar pembahasan ini dibawa dalam rapat terbatas.

"Presiden Jokowi dan Menkopolhukam menolak wacana Yasonna Laoly untuk melakukan revisi PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan corona."

Rencana Yasonna membebaskan napi koruptor juga diperhatikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sempat menyatakan lembaga antirasuah ini setuju jika napi koruptor dibebaskan untuk mencegah penyebaran COVID-19 seperti wacana Menkumham.

"Kami menanggapi positif ide Pak Yasonna sebagai respon yang adaptif terhadap wabah virus Covid-19, mengingat kapasitas pemasyaratan kita telah lebih dari 300 persen sehingga penerapan sosial distance untuk warga binaan dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan," kata Ghufron lewat keterangannya, Kamis, 2 April.

KPK, kata dia, menyerahkan mekanisme revisi PP tersebut kepada Kemenkumham sambil memastikan agar revisi PP tidak mengabaikan aspek tujuan pemidanaan dan keadilan.

Ghufron juga mengatakan pembebasan napi dengan alasan kemanusiaan memang bisa dilakukan asalkan tetap memperhatikan aspek tujuan pemidanaan dan keadilan.

Belakangan, Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri mengklarifikasi pernyataan Ghufron. Menurutnya, lembaga antirasuah itu ingin agar wacana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini kembali dikaji secara sistematis dan matang.

Sebab, KPK tak ingin ada kesan jika napi koruptor bisa seenaknya saja dibebaskan dari lembaga permasyarakatan meski dengan alasan untuk mencegah penyebaran COVID-19.

"KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat," kata Ali sambil menambahkan Biro Hukum KPK juga tak diajak berdiskusi untuk membahas revisi ini.

Dia juga meminta agar Kemenkumham membuka secara jelas data terkait jumlah narapidana dalam kasus korupsi. Sehingga, publik bisa menilai benar atau tidaknya napi korupsi jumlah begitu banyak sehingga harus dibebaskan di tengah pandemi COVID-19.

"Kemenkumham menurut kami semestinya perlu menyampaikan kepada publik secara terbuka sebenarnya napi kejahatan apa yang over kapasitas di Lapas saat ini," tutupnya.