Narasi Pemprov DKI: Banjir Jakarta dalam Data dan Kata
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta merilis data soal banjir Ibu Kota sejak 2002 hingga 2021. Data itu diunggah di akun Instagram resmi, @dkijakarta. Di lain sisi, Pemprov DKI juga gencar menyatakan klaim soal capaian mereka soal penanganan banjir. Seperti apa pemaparannya? Ini dia banjir Jakarta dalam data dan kata versi Pemprov DKI.
Pada 2002, saat Jakarta dipimpin Sutiyoso, curah hujan tertinggi di DKI Jakarta pernah tercatat di angka 168 milimeter per hari. Saat itu luas area tergenang tercatat di angka 168 kilometer persegi, dengan 353 RW di dalamnya.
Banjir kala itu berdampak ke wilayah-wilayah strategis, memaksa 154.270 orang mengungsi, dengan 32 orang meninggal dunia. Banjir kala itu surut dalam waktu enam hari.
Kemudian, pada 2013, tepatnya 17 Januari, intensitas hujan paling tinggi yang melanda Ibu Kota berada di angka 100 milimeter per hari. Akibat hujan itu, 599 RW tergenang, dengan luas wilayah terendam 240 kilometer persegi, termasuk wilayah strategis.
Ada 40 orang meninggal dalam banjir itu, dengan jumlah pengungsi mencapai 90.913. Mereka tersebar di 1.250 lokasi pengungsian. Banjir kala itu surut dalam waktu tujuh hari.
Selanjutnya, 11 Februari 2015, curah hujan tertinggi di Jakarta tercatat di angka 277 milimeter per hari. Wilayah seluas 281 kilometer persegi tergenang selama tujuh hari, dengan 702 RW di dalamnya.
Banjir kala itu juga menyentuh area strategis, memaksa 45.813 orang mengungsi di 409 titik pengungsian. Lima orang meninggal dalam banjir itu.
JURNALISME RASA
Baca juga:
Banjir terparah terjadi Februari 2007
Dampak banjir paling parah pernah menghantam Ibu Kota pada 2 Februari 2007. Kala itu curah hujan tertinggi tercatat di kisaran 340 milimeter per hari.
Banjir merendam 455 kilometer persegi wilayah, dengan 955 RW termasuk di dalamnya. Banjir yang juga menyentuh wilayah strategis itu baru surut dalam waktu sepuluh hari.
Berdasar data, 48 orang meninggal. Banjir juga memaksa 276.333 orang mengungsi.
Banjir Jakarta dua tahun belakangan
Yang paling baru, banjir menggenangi Jakarta sepanjang akhir pekan lalu. Kamis, 18 Februari hingga Jumat, 19 Februari, hujan membuat sejumlah wilayah tergenang.
Pada Sabtu, 20 Februari, akumulasi guyuran hujan membuat Jakarta makin terbenam. Hari itu, curah hujan paling tinggi tercatat di angka 226 milimeter per hari.
Pemprov DKI mendata luas area tergenang di kisaran 4 kilometer persegi, dengan 113 RW kebanjiran. Banjir disebut tak berdampak ke area strategis.
Namun pemberitaan CNN Indonesia pada Minggu, 20 Februari menyebut seorang kakek 76 tahun bernama Sutarmo meninggal di rumahnya di Kelurahan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dugaan sementara, Sutarmo tewas tenggelam akibat terkunci di dalam rumah ketika banjir tiba-tiba merendam rumahnya.
Ketua RW 06 Kelurahan Jatipadang, Pasar Minggu, Syarifuddin menyebut Sutarmo ditemukan tewas pada 07.00 WIB di tengah genangan air. "Kebetulan almarhum tidurnya di bawah. Air kan tiba-tiba datang tinggi aja. Kemungkinan di bawah itu yang enggak bisa ketolong," kata Syarifuddin.
Kritik program pengendalian banjir Pemprov DKI
Jakarta Timur jadi daerah yang paling parah terdampak banjir kali ini. Pemprov DKI mengklaim, bagaimanapun, banjir kali ini masih lebih baik ketimbang periode lalu. Pemprov DKI juga menyebut tingginya curah hujan sebagai sebab banjir.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan curah hujan jadi sebab banjir kali ini. Termasuk di Jakarta Timur, di mana kawasan Halim Perdanakusuma diguyur intensitas hujan dengan 160 milimeter per hari.
Menurut Faizal, sistem drainase yang dibangun Pemprov DKI tak sanggup mengimbangi itu. Dia bilang, sistem drainase hanya mampu menampung hujan dengan intensitas 50 sampai 100 milimeter per hari.
"Perlu diketahui, sistem drainase kita itu didesain berdasarkan curah hujan 50 sampai 100 mililiter per hari. Makanya, kalau terjadi hujan ekstrem sampai 160 milimeter, terjadilah meluap," jelas Faizal.
Pemprov DKI sejatinya punya program dan skema pengendalian banjir. Ada lima: Gerebek Lumpur, drainase vertikal (sumur resapan), pemeliharaan pompa, penanganan banjir rob melalui NCICD, dan pengelolaan sistem polder.
Namun, entah bagaimana, program-program itu terasa mentah. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono menyebut Anies tak sungguh-sungguh menjalankan program. Setengah-setengah, kata Gembong.
Gembong tetap mendorong Anies menormalisasi sungai. Tanpa itu, tak akan ada progres signifikan dari apapun skema dan program pengendalian banjir yang dijalankan Pemprov DKI.
"Maka ketika bicara penanganan banjir ini sepanjang Pemprov DKI tidak dapat melakukan normalisasi, saya rasa sulit untuk bisa mengatasi persoalan banjir. Jadi, kuncinya adalah normalisasi," kata Gembong kepada VOI, Jumat, 19 Februari.
"Kalau gubernur dan wakil gubernur klaim program pengendalian banjir seperti grebek lumpur dan sumur resapan berhasil, ya enggak banjir lah harusnya. Jadi, apakah gerebek lumpur itu bermanfaat signifikan terhadap pengentasan banjir, saya kira tidak. Tapi, ya memang ada manfaatnya," tambah dia.
Menurut Gembong, selama Anies menjabat di DKI, Pemprov DKI belum menjalankan tugasnya secara nyata terhadap penataan kali dan sungai, baik program normalisasi maupun naturalisasi. Padahal, menurut Gembong, Anies telah menganggarkan dana pembebasan lahan untuk program naturalisasi atau normalisasi sungai.
Dana itu bersumber dari dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari pemerintah pusat. "Praktiknya, normalisasi memang belum ada. Tapi, di anggaran 2021 itu memang ada, melalui dana PEN, Pemprov DKI sudah mau mulai mengerjakan itu (pembebasan lahan)," tuturnya.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Perseteruan Panjang India-Pakistan Cair Berkat Video Lima Menit Influencer
- Dinilai Pekerjaan Mapan, Mari Menghitung Besaran Gaji PNS
- Dendam Korut atas Film The Interview Masih Ada, Tiga Peretas Dikirim ke AS Curi Miliaran Uang Kripto
- Ramai-Ramai Pakar Kesehatan Kecam Video Viral TikTok Terapi Lilin Panas untuk Wajah