Tragedi Maracana: Kekalahan Tim Samba Jadi Mimpi Buruk Seisi Brasil

JAKARTA - Stadion Maracana punya arti penting bagi rakyat Brasil. Maracana tak hanya simbol menyatunya sepak bola dengan kehidupan rakyat Brasil, tapi stadion itu dikultuskan untuk Tim Samba angkat trofi Piala Dunia 1950. Optimisme hadir karena Tim Samba tengah tampil dominan.

Seisi Brasil sudah bersiap menggelar perayaan juara, padahal laga penentuan belum dimainkan. Jauh panggang dari api. Brasil justru kalah dari Uruguay di babak penentuan Piala Dunia 1950 yang diselenggarakan di Maracana. Kekalahan itu membuat seisi Brasil kecewa bukan main. Beberapa di antaranya berakhir bunuh diri.

Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menunjuk Brasil sebagai tuan rumah Piala Dunia 1950. Inisiasi itu disambut dengan gegap gempita oleh seisi Brasil. Sekalipun terpilihnya Brasil dikritik banyak pihak. Empunya kuasa dianggap tak siap melenggarakan hajatan sepak bola kelas dunia.

Narasi kemiskinan yang menjamur jadi muaranya. Namun, rakyat Brasil mencoba memutus mata rantai anggapan itu. Pemerintah dan rakyat Brasil bahu-membahu membuat   negaranya layak diperhitungkan sebagai tuan rumah hajatan sepak bola kelas dunia.

Satu demi satu fasilitas penunjang disediakan. Bahkan, pemerintah Brasil berani mencoba membangun proyek mercusuar. Empunya kuasa ingin membangun suatu stadion megah di jantung negeri Brasil, Rio de Jeneiro. Stadion Maracana, namanya.

Gol pertama Uruguay yang dicetak Juan Alberto Schiaffino ke gawang Brasil yang dijaga Moacir Barbosa dalam final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro. (BBC/AFP)

Biaya yang digelontorkan cukup besar. Besarannya bahkan mencapai ratusan juta dolar AS. Rakyat Brasil tak ambil pusing dengan dana yang sebenarnya dapat membuat rakyat Brasil mencicipi kesejahteraan. Semuanya justru mendukung pemerintah mengerjakan stadion yang dapat menampung ratusan ribu orang.

Total pembangunan stadion itu menggunakan tenaga dari 10 ribu pekerja. Pengerjaannya pun dilanggengkan pada 1948. Kerja keras pemerintah Brasil akhirnya terbayar. Stadion Maracana diresmikan pada 16 Juni 1950, atau delapan hari sebelum pertandingan pembuka Piala Dunia 1950, antara Brasil melawan Meksiko. Semenjak itu rakyat Brasil yakin bahwa Maracana adalah tempat suci yang nantinya dapat mempersembahkan trofi Piala Dunia 1950.

“Itu bermula setengah abad yang lewat. Pada Piala Dunia 1950, Brazil muda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka negara yang modern, penuh ambisi, dan percaya diri. Empat tahun sebelumnya, mereka melahirkan konstitusi demokratis untuk mengakhiri kediktatoran selama masa Perang Dunia Kedua.”

“Optimisme dan kebaruan membutuhkan simbol. Ukuran sangat penting mengingat Brazil adalah negara besar dengan pantai lebar, sungai besar, dan hutan hujan tropis raksasa. Mereka sudah punya patung Yesus paling besar. Namun mereka membutuhkan simbol baru. Untuk itulah mereka membangun stadion terbesar di dunia: Maracana,” ungkap Darmanto Simaepa dalam buku Dari Belakang Gawang (2021).

Tragedi Maracana

Gelaran Piala Dunia 1950 disambut dengan gegap gempita. Brasil seperti yang sudah diramal mampu unggul dalam perhelatan sepak bola kelas dunia yang babak finalnya masih langgeng dengan format round-robin (mirip fase grup). Brasil yang tergabung dalam grup satu begitu mendominasi.

Tim Seleccao hanya ditahan imbang oleh Swiss dalam fase grup. Narasi itu membuat Brasil melaju dengan mulus ke babak final. Brasil berjumpa dengan masing-masing juara grup dua (Spanyol), tiga (Swedia), dan empat (Uruguay).

Babak final pun Brasil tak mau kalah. Swedia dan Spanyol mampu digilasnya. Kemampuan yang sama juga ditunjukkan oleh Uruguay yang berada di peringkat dua. Uruguay menang sekali dan imbang sekali. Karenanya, momentum Uruguay melawan Brasil jadi yang akan menentukan siapa juara Piala Dunia 1950.

Menang jadi harga mati bagi Uruguay, sedang Brasil hanya butuh hasil imbang untuk angkat piala. Pertandingan penentu dijadwalkan di Stadion Maracana pada 16 Juli 1950. Namun, rakyat Brasil, bahkan FIFA sudah percaya diri bahwa Brasil yang akan jadi juara dunia.

Asumsi itu langgeng karena performa Brasil yang melejit dengan trisula andalan Friaca, Ademir, dan Chico. Media massa setempat telah beramai-ramai mengucapkan selamat kepada Brasil. Pun demikian dengan pejabat setempat. Rakyat Brasil juga tak mau kalah. Ragam perayaan mulai disiapkan.

Potret Stadion Maracana yang menjadi kebanggaan rakyat Brasil. (Wikimedia Commons)

Tujuannya satu. Mereka ingin merayakan kemenangan negaranya yang tinggal selangkah lagi. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Timnas Brasil percaya diri akan menang. Mereka mendominasi jalannya pertandingan dengan gol dari Friaca pada babak kedua menit 47. Brasil unggul 0-1.

Namun, Uruguay dengan pemain andalannya Alberto Schiaffino, Alcides Ghiggia, dan Obdulio Varela main ngotot. Mereka tak ingin pulang dengan wajah murung ke bawah. Hasilnya gemilang. Uruguay mampu menyarangkan dua gol ke gawang Brasil.

Masing-masing dicetak Juan Schiaffino pada menit 66, dan Alcides Ghiggia pada menit 79. Kemenangan itu kemudian membungkam seisi Stadion Maracana. Banjir tangis terjadi. Uruguay pun tak sempat mendapatkan upacara angkat trofi yang layak dan sebagaimana mestinya.

Uruguay juga tak dapat medali karena FIFA sudah kandung menulis nama pemain Brasil saja. Penonton yang hadir pun larut dalam kesedihan yang amat dalam. Kesedihan itu juga membuat ratusan orang terkena serangan jantung. Tiga di antaranya pun meninggal dunia setelah dilarikan ke rumah sakit.

Kekalahan Brasil di Maracana dianggap kejadian yang paling memalukan dalam sejarah. Maracana yang senantiasi dipersiapkan untuk kemenangan Brasil, justru jadi panggung angkat trofi kubu lawan. Pemain yang membela Tim Samba lalu dikucilkan rakyat Brasil.

Utamanya, kepada sang penjaga gawang, Moacyr Barbosa yang dianggap biang keladi kegagalan kemenangan Brasil. Peristiwa itu kemudian memicu banyak kejadian bunuh diri di Brasil. Karenanya, tragedi kekalahan Brasil dikenang luas dengan sebutan Maracanazo (Tamparan Maracana).

“Piala Dunia 1950 telah usai. Bagi Brasil, semuanya sudah berakhir. Pemain Uruguay bergantian memeluk wasit Reader. Presiden FIFA, Jules Rimet diantar ke lapangan oleh polisi yang menangis histeris. Jules membiarkan kapten Uruguay dan pemain terbaik laga, Varela mengangkat trofi tersebut, meskipun ia disarankan untuk tidak mengangkatnya.”

“Varela puas dengan pergi minum-minum di Rio malam itu. ia berasa bak raja Uruguay, raja Brazil, raja dunia. Tidak ada tarian samba yang dilakukan di Brasil. Di tempat lain di Rio, terjadi kasus bunuh diri. Negara ini, hampir seperti satu kesatuan, pasrah pada kenyataan bahwa mereka tidak akan memenangkan piala dunia di kampung halamannya,” terang Scott Murray dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul World Cup Stunning Moments: Uruguay's 1950 Triumph in Brazil (2018).