KPU Nilai Penerapan Sistem E-Voting Pemilu Perlu Banyak Persiapan dan Perlindungan Hukum
JAKARTA - Komisioner KPU Idham Holik menilai penerapan sistem pemungutan suara secara elektronik atau e-voting dalam pemilu harus mempersiapkan banyak faktor mulai dari infrastruktur digital, sumber daya manusia (SDM), hingga perlindungan hukum melalui Undang-Undang.
“Hal tersebut memang sudah memungkinkan. Tapi tentunya harus kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi, ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi, mulai dari persoalan cyber security, literasi digital pemilih, infrastrukturnya, dan lain sebagainya,” kata Idham Holik di Kantor KPU, Jakarta, Jumat 13 Oktober, disitat Antara.
Berkaitan dengan pemberian suara dengan teknologi informasi, Idham mengatakan bahwa memang sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan hal tersebut, bahkan di Undang-Undang Pilkada, khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 85, Ayat 1 huruf C dan Ayat 2A, telah menyebutkan bahwa sistem tersebut sudah memungkinkan untuk diterapkan.
Namun, menurut dia, banyak faktor yang harus dipenuhi ketika Indonesia memutuskan untuk menerapkan pemungutan suara pada pemilu melalui teknologi internet, terutama yang berkaitan dengan asas kerahasiaan di era digital.
“Karena teknologi internet itu selalu menyisakan jejak yang dikenal dengan istilah digital footprint atau digital tracing, dan ini harus dibicarakan secara serius,” ujarnya.
Baca juga:
Idham menjelaskan, saat pemerintah memutuskan untuk menerapkan pemilu dengan sistem e-voting maka harus ada Undang-Undang khusus yang membahas, mengatur, dan menjamin tentang kerahasiaan dalam pemberian suara pemilih.
Ia bilang, kerahasiaan adalah salah satu asas dari penyelenggaraan pemilih, di mana pemilu harus menerapkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau luber jurdil. Hal itu sesuai dengan amanah konstitusi yang tertera dalam pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Idham mengatakan bahwa Indonesia juga harus objektif dengan melihat fakta elektoral di beberapa negara-negara lainnya, seperti pemilu federal di Australia pada Maret 2022 yang memutuskan untuk kembali menerapkan pemilihan secara konvensional.
“Mahkamah Konstitusi Jerman itu melarang pemberian suara dengan teknologi internet. Jadi kita harus spare melihat penggunaan teknologi ini,” katanya.
Sebelumnya, usulan mengenai sistem e-voting dalam pemilu disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet yang menilai bahwa sistem demokrasi Indonesia mengalami stagnasi yang dikategorikan sebagai belum mapan, masih berproses menuju kematangan dan pendewasaan.
Menurut dia, Indonesia perlahan harus bisa menerapkan sistem e-voting, seperti Filipina yang sudah sukses melakukannya dan partisipasi publik yang semakin meningkat menjadi 80 persen.
Penetrasi internet yang hampir mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia, kata Bamsoet, sebaiknya juga bisa diandalkan dalam hal menyerap aspirasi publik, melalui sistem pemilu digital yang jauh lebih murah, cepat, dan aman.
"Karena kita sudah terjebak hari ini pada demokrasi angka-angka dan transaksional, yang makin lama makin mahal. Jadi tidak heran kalau banyak kepala daerah, anggota DPR, sebuah tingkatan, yang terjerat OTT, KPK, hampir 600 yang terjerat,” ujar Bamsoet di Jakarta, Selasa 3 Oktober.