SEMARANG - Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Pratama Persadha mengingatkan penyelenggara pemilihan umum untuk menyiapkan sistem pengamanan digitalisasi pemilu yang aman dari peretasan jika menerapkan pemilihan secara elektronik (e-voting).
"Selain soal regulasi, perlu pula menentukan infrastruktur yang akan melakukan full lewat internet atau juga membuat tempat pemungutan suara (TPS) khusus untuk e-voting," kata Pratama Persadha kepada ANTARA di Semarang, Jumat 25 Maret.
Pakar keamanan siber ini mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate yang menyinggung digitalisasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) saat bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Johnny saat Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia secara hibrida dari Bali, Rabu (23/3), mengemukakan bahwa adopsi teknologi digital dalam pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun transmisi dan tabulasi hasil pemilu.
Kendati demikian, kata Pratama Persadha, sistem digitalisasi pemilu ini yang harus disiapkan, termasuk pengamanannya, agar tidak mudah menjadi korban peretasan. Selain itu, juga berkaitan dengan kesiapan pusat data nasional.
"Tanpa ada pusat data nasional, akan mempersulit e-voting di Tanah Air," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
BACA JUGA:
Ia menegaskan bahwa bangsa ini memerlukan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan traffic penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data.
Menurut dia, yang tak kalah penting adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan. Hal ini merupakan tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi pada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, maupun keamanan sistem itu sendiri.
"Indonesia juga harus menunggu adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi untuk memaksa KPU RI benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya," kata Pratama.
Pada prinsipnya, kata dia, e-voting harus disiapkan dengan baik dan minimalkan kemungkinan gangguan sistemnya dari dalam dan luar negeri, terutama voting via internet.
Oleh karena itu, lanjut Pratama, keamanan harus dijadikan prioritas utama karena dalam berbagai kasus e-voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu.
"Harus ada proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. Dalam hal ini, KPU bisa bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)," ujarnya.