Tak Bisa Dampingi SYL Karena Pernah Jadi Saksi di Kasus Kementan, Febri: Dasar Hukumnya Apa?

JAKARTA - Pengacara eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Febri Diansyah mempertanyakan dasar hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melarang dirinya bertemu dengan kliennya yang ditangkap, Kamis, 12 Oktober.

Febri menyebut sudah berkoordinasi dengan pihak penyidik KPK. Hanya saja, dia tetap tak diperbolehkan menemui kliennya meski datang ke gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan sejak pukul 21.30 WIB.

“Saya belum diperbolehkan naik menemui klien saya, Pak Syahrul Yasin Limpo sampai dengan jam 00.30. Tadi ada info yang disampaikan tidak bisa (bertemu, red) karena pernah dipanggil sebagai saksi,” kata Febri kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Jumat, 13 Oktober.

Diketahui, Febri bersama Rasamala Aritonang yang menjadi kuasa hukum Syahrul pernah dipanggil sebagai saksi di kasus ini. Keduanya diperiksa karena temuan dokumen pendapat hukum atau legal opinion yang disusun firma hukumnya, Visi Law Office.

Kondisi ini kemudian menjadi pertanyaan bagi tim kuasa hukum Syahrul. “Seolah-olah advokat tidak bisa mendampingi karena pernah dipanggil sebagai saksi,” tegas Febri.

“Ini menjadi pertanyaan soal dasar hukumnya. Padahal kan fungsi advokat memberikan bantuan hukum untuk memastikan hak tersangka,” sambungnya.

Febri berharap kerjanya sebagai advokat tidak lantas dihalangi. Pengusutan kasus korupsi yang menjerat Syahrul harus ditangani secara proporsional sesuai aturan berlaku.

“Meski demikian kami menghargai tugas yang dilakukan KPK,” ujar eks Juru Bicara KPK itu.

 

Diberitakan sebelumnya, Syahrul ditangkap di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan pada Kamis malam. Ia langsung menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK.

KPK sudah mengumumkan Syahrul beserta dua anak buahnya, Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta sebagai tersangka pada Rabu, 11 Oktober. Ketiganya terlibat dugaan pemerasan dan gratifikasi.

Dalam kasus ini, Syahrul melalui dua anak buahnya tersebut diduga memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan. Nominalnya beragam antara 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.

Uang yang dikumpulkan diyakini bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up melainkan dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.