Pantauan Netray Terhadap Perbedaan Tanggapan Warganet Soal Wacana Penghapusan TikTok Shop
JAKARTA - TikTok Shop sedang menjadi buah bibir. Platform social e-commerce itu dituding sebagai biang kerok merosotnya pembeli di pasar konvesional hingga dikeluhkan para pedagang.
Tak bisa dipungkiri, fenomena 'live' di TikTok Shop kian populer belakangan ini. Bahkan mungkin menjadi momen yang ditunggu konsumen. Mengapa? Itu terjadi karena belanja di platform tersebut diklaim memiliki harga menggiurkan.
Tapi sayang meningkatnya aktivitas belanja di TikTok Shop ternyata juga dikeluhkan banyak pihak, utamanya dari para pedagang konvensional. Seiring banyaknya keluhan soal sepinya pasar konvensional, pemerintah mengeluarkan wacana bakal melarang TikTok sebagai alat jualan.
Bagaimana tanggapan pengguna TikTok perihal wacana tersebut dan bagaimana media daring mengangkat isu jual beli di platform ini?
Pantauan Media Daring dan TikTok
Berdasarkan pantauan Netray di media pemberitaan dengan kata kunci pemerintah && tiktok, project s tiktok, tiktok && umkm, dan tiktok shop, ditemukan 239 artikel yang berkaitan dengan kata kunci. Artikel-artikel ini diunggah oleh 71 media berita daring Indonesia dalam periode pemantauan 12-18 September 2023.
Meski fenomena TikTok Shop ramai disebut sebagai ‘pembunuh’ UMKM, berita terkait kata kunci di atas justru didominasi oleh berita bersentimen positif dengan total 131 artikel dan hanya 26 artikel bersentimen negatif.
Wacana penghapusan TikTok Shop juga menjadi sorotan penggunan TikTok. Dengan kata kunci pemerintah && tiktok, larang && jual, larang && tiktok, tiktok && umkm, dan #tiktokdilarangjualan, Netray menemukan 169 konten dalam periode pemantauan yang sama dengan kanal news.
Konten yang memuat topik tersebut berhasil menjadi perbincangan warganet. Video pendek yang memuat isu ini telah diputar sebanyak 4,7 juta kali dengan total impresi mencapai 216,7 ribu reaksi.
Respons Soal TikTok Shop Terpecah
Kita tidak dapat menampik bahwa aktivitas belanja masyarakat bergeser seiring berkembangnya teknologi. Jika sebelumnya pasar konvensional selalu dipadati pengunjung hampir setiap hari, itu menjadi pemandangan langka dalam beberapa tahun ke belakang.
Salah satu contoh adalah Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat. Pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu kini tidak lagi menjadi pilihan masyarakat untuk belanja. Padahal dulu, Pasar Tanah Abang tidak pernah sepi pengunjung. Utamanya saat libur atau menjelang hari raya.
Fenomena sepinya Pasar Tanah Abang dan pasar-pasar tradisional lainnya disebut karena demam belanja online. Dan, banyak orang yang ramai-ramai menunjuk fenomena live TikTok Shop sebagai biang kerok anjloknya penjualan di Tanah Abang. Namun klaim ini mengundag pro dan kontra.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun angkat bicara soal fenomena yang sedang ramai dibicarakan. Dia menyinggung media sosial yang menjual murah produk-produk impor, atau melakukan dumping. Menurutnya, aktivitas tersebut mengancam produsen lokal atau UMKM dalam negeri.
Dia juga menduga ada praktik predatory pricing yang dilakukan oleh media sosial. Pada kesempatan tersebut, Teten meminta Indonesia belajar dari China soal transformasi digital. Meski akselerasi digital di China deras, pasar domestik di Negeri Tirai Bambu terlindungi. Itu bisa terjadi karena adanya pemisahan fungsi media sosial dan e-commerce.
"Platform digital di China itu tidak boleh monopoli, diatur. Media sosial ya media sosial. Dagang ya dagang, dipisah. Nah TikTok sendiri di China dipisah antara TikTok medsosnya dengan TikTok Shop-nya. Di Indonesia dibolehkan. Nah yang bodoh siapa? Apalagi di sini hanya kantor perwakilan," ujar Teten.
Di lain kesempatan, Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhammad Andri Perdana mengatakan para pedagang offline kesulitan bersaing dengan TikTok Shop karena adanya impor cross border.
Cross border adalah masuknya barang impor ke dalam wilayah suatu negara tanpa melewati proses pemeriksaan pabean. Kehadiran platform seperti TikTok Shop memungkinkan adanya barang impor cross border yang dikirim langsung ke konsumen dari luar negeri dengan harga lebih murah. Praktik perdagangan cross border meresahkan pelaku UMKM, karena salah satu dampak negatifnya adalah hanya menguntungkan pedagang asing. Ini karena disebabkan mereka menjajakan produk dengan harga sangat murah.
Baca juga:
- Menghitung Untung Rugi Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024 yang Nyaris Sebulan
- Mengupas Janji Bacapres (4): Kompak Janjikan Ketahanan Pangan, Tantangannya Banyak dan Tidak Mudah
- Perubahan Peran Gender Mulai Diterima karena Pola Pikir Pragmatis dan Realistis
- Mengupas Janji Bacapres (3): Bensin Gratis, Gagasan Utopis Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar
Menurutnya, pemerintah tidak perlu langsung ‘mematikan’ TikTok Shop karena pada dasarnya tak sedikit juga UMKM yang mau mengikuti perkembangan teknologi dan terbantu dengan memanfaatkan e-commerce.
“Ini terjadinya karena adanya politik dumping, di mana barang diekspor dijual lebih murah agar menguasai pasar di negara tersebut. Padahal, barang-barang yang dijual mungkin bukan barang bagus, sehingga didumping di Indonesia. Dengan impor cross border kita tidak bisa memastikan apakah barang yang dijual bagus. TikTok juga menjual barang secara impor langsung ke ritel,” kata Andri saat dihubungi VOI.
“Sejak pandemi, efek ekonomi sangat terasa. Pada 2022 juga terjadi inflasi tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Daya beli masyarakat di Indonesia, bahkan dunia juga menurun. Sehingga untuk masyarakat kelas menengah memilih barang yang lebih murah,” Andri menjelaskan.
Sependapat dengan Andri, Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati menegaskan social commerce tidak merugikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan justru bisa bantu mendongkrak penjualan.
"Social commerce itu tidak merugikan UMKM. Banyak UMKM yang jualannya luar biasa, ya karena adanya social commerce. Social commerce itu tidak punya dampak negatif apapun terhadap UMKM," kata dia dalam talkshow 'Dampak Social Commerce Pada UMKM di Indonesia' di Jakarta Selatan, Jumat, 15 September.