JAKARTA – Waktu semakin dekat menjelang Pemilu 2024, tiga bakal calon presiden (Bacapres), yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, sudah mulai mengumbar janji jika terpilih menjadi presiden. Ketiga Bacapres memiliki deretan program untuk dilaksanakan, namun mereka memiliki satu kesamaan.
Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo kompak untuk menjaga ketahanan pangan yang memang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Meski sama-sama fokus pada ketahanan pangan, ketiga Bacapres tersebut memiliki strategi berbeda untuk mencapainya.
Anies Baswedan misalnya, yang menjanjikan kesetaraan kebutuhan pokok. Artinya, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menginginkan harga kebutuhan pangan yang stabil. Sementara itu dua Bacapres lain, Ganjar dan Prabowo, memiliki janji yang hampir sama yaitu melanjutkan program Presiden Joko Widodo terkait ketahanan pangan.
Tantangan Berat Mencapai Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Karena itulah, siapa pun presidennya, ketahanan pangan selalu menjadi fokus. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketika ketersediaan pangan lebih kecil dibandingkan kebutuhannya, maka dapat memicu ketidakstabilan ekonomi.
Pengertian ketahanan pangan sendiri tercantum dalam UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merasa, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Namun terdapat sederet tantangan besar yang harus dihadapi untuk mencapai ketahanan pangan seperti yang diidamkan para Bacapres ini. Sebagaimana diungkapkan Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, untuk mencapai ketahanan pangan dibutuhkan program jangka panjang.
Tantangan terbesar Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan salah satunya adalah bagaimana caranya menghentikan impor bahan pangan. Pasalnya, kebutuhan bahan pangan Indonesia justru sangat tergantung pada pasar impor. Gandum, kedelai, gula, susu dan jagung sangat bergantung pada impor, padahal Indonesia disebut sebagai negara yang subur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor yang mengalami kenaikan secara konsisten pada periode 2020-2022 khususnya untuk bahan makanan dan binatang hidup, minuman dan tembakau, dan lemak serta minyak hewan dan nabati.
“Bagaimana caranya mengurangi impor? Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas komoditi domestik,” kata Khudori saat berbincang dengan VOI.
Konsumsi beras per kapita yang tinggi, sekitar 114,6 kg per orang per tahun, tidak sebanding dengan ketersediaan lahan. Sebagai informasi, disebutkan Khudori bahwa lahan pangan per kapita di Indonesia sangat kecil, hanya 0,089 hektar. Angka ini masih di bawah negara ASEAN lainnya, Thailand dan Vietnam, serta tertinggal jauh dari Australia.
Selain masalah impor, ketahanan pangan Indonesia juga terkendala pendistribusian. Karena menurut Khudori, ketersediaan pangan yang dimiliki sebenarnya lebih dari cukup asalkan didistribusikan dengan baik.
“Pasokan yang kita miliki sebenarnya melimpah, jauh lebih dari cukup. Kalau ini terdistribusi dengan baik, jika ketersediaan ini terbagi ke semua mulut yang membutuhkan, maka tidak ada kekurangan pangan, tidak ada kekurangan gizi, tidak ada stunting. Tapi yang terjadi tidak demikian,” ujar Khudori menjelaskan.
Padahal ketika bahan pangan bergizi tidak terdistribusi dengan baik memiliki dampak besar pada kehidupan.
“Ini tantangan yang tidak mudah. Ketika warga tidak mendapatkan cukup gizi, dampaknya akan berlanjut sampai usia produktif. Bisa dibilang ini seperti lingkaran setan. Masyarakat miskin kekurangan bahan pangan bergizi, menimbulkan kasus kurang gizi, lalu setelah besar di usia produktif menjadi sakit-sakitan,” tuturnya.
Kunci Keberhasilan Food Estate
Food estate atau lumbung pangan disebut bisa menjadi jawaban untuk mencapai ketahanan pangan. Tapi faktanya, sejak program food estate pertama kali diluncurkan pada 1970 di era Presiden Soeharto, kemudian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010, hingga Presiden Joko Widodo sekarang ini program food estate bisa dikatakan gagal.
Dikatakan Khudori, food estate sebenarnya bisa berhasil dan berpeluang memenuhi ketahanan pangan dengan beberapa catatan.
Pertama food estate harus dimaksudkan untuk menambah lahan per kapita. Dengan kebutuhan konsumsi yang terus bertambah, maka penambahan lahan per kapita mutlak harus dilakukan.
Kedua, program food estate juga dibutuhkan untuk mengalihkan basis poduksi pangan dari Jawa ke luar Jawa. Ini karena Jawa menjadi pusat pertumbuhan, sehingga lahan-lahan yang awalnya lahan pertanian di Jawa dikonversi. Konversi lahan pertanian di Jawa pasti terjadi, padahal itu adalah sumber produksi pangan.
“Ketiga, food estate sifatnya jangan monokultur karena ini menyalahi kodrat, padahal Indonesia memiliki keberagaman yang luar biasa,” kata Khudori lagi.
Terakhir, program food estate diyakini akan berhasil jika dibarengi dengan inovasi dan infrastruktur yang memadai. Untuk memperbesar peluang keberhasilan food estate, Khudori juga menyebut perlunya kolaborasi antara pemerintah pusat dengan masyarakat setempat. Karena pada dasarnya, penduduk setempat telah beradaptasi selama puluhan tahun dengan kondisi tempat lumbung pangan dilakukan.
“Jika program food estate dilakukan dengan menggunakan teknologi yang biasa digunakan di Jakarta, belum tentu petani setempat bisa, belum tentu cocok. Untuk menjalankan program food estate sebaiknya dipertimbangkan aspek sosiologis dan lingkungan setempat. Jangan sampai aspek ini diabaikan,” kata Khudori.
Sebagai penutup, Khudori mengatakan untuk mencapai ketahanan pangan akan sangat tidak mudah mengingat beratnya tantangan yang bakal dihadapi presiden yang terpilih nantinya. Dia berujar, program food estate merupakan program jangka panjang yang tidak bisa berhasil dalam waktu singkat.
“Minimal satu periode presiden. Tidak bisa dikejar dengan cara kerja, kerja, kerja dan berhasil seperti sulap. Produksi di lahan ini berbeda dengan produksi manufaktur yang bisa dikontrol. Produk di lahan ada banyak variabel yang tidak bisa dikontrol. Karena itu, program food estate harus diletakkan dalam konteks jangka menengah-panjang,” pungkasnya.