Bagikan:

JAKARTA - Menjelang Pilpres 2024, para bakal calon presiden (Bacapres) mulai mengumbar janji-janji manis mereka di hadapan jutaan masyarakat Indonesia. Ini dimanfaatkan para Bacapres untuk menarik suara rakyat saat mereka bertarung dalam Pilpres tahun depan.

Seperti kita ketahui bersama, sejauh ini sudah ada tiga Bacapres 2024. Mereka adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Baru Anies Baswedan yang telah mengumumkan Cawapres dengan menunjuk Muhaimin Iskandar sebagai pendampingnya pada pertarungan Pilpres tahun depan.

Masing-masing Bacapres telah melontarkan program kerja mereka, termasuk dari Ganjar Pranowo. Bacapres yang diusung PDIP ini merinci sejumlah program kerja, di antaranya adalah melanjutkan program Presiden Joko Widodo, salah satunya ketahanan sektor pangan.

Namun janji Ganjar yang paling menyita perhatian adalah soal mantan Gubernur Jawa Tengah ini ingin menaikkan gaji guru menjadi dua digit. Dia menilai gaji yang layak untuk guru adalah Rp30 juta, dan Rp10 juta untuk guru yang baru mengajar. Dia mengaku miris dengan kondisi ekonomi guru yang pas-pasan.

Sumber Anggaran Dipertanyakan

Menaikkan gaji guru hingga mencapai Rp30 juta tentu disambut antusias oleh para tenaga pendidik. Maklum, sampai sekarang gaji guru disebut-sebut termasuk rendah padahal mereka memiliki peran krusial untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tapi di sisi lain, menaikkan gaji guru menjadi dua digit membuat banyak pihak mengerutkan dahi? Dari mana anggaran untuk menaikkan gaji guru secara fantastis? Jangan-jangan ini cuma janji palsu, seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh para Capres sebelumnya.

Sebagai informasi, gaji guru PNS di Indonesia mulai dari tingkat terendah yaitu Golongan I-A antara Rp1.560.800 dan Rp2.335.800. Menurut pengamat Kebijakan Publik Centre of Youth and Population Centre (CYPR) Boedi Rheza, apa yang diinginkan Ganjar sudah tepat dan rasional.

Boedi berujar sudah selayaknya guru mendapat gaji besar mengingat sumbangsihnya yang tinggi. Peran krusial guru tidak sebanding dengan pendapatannya, terutama untuk guru honorer masih rendah. Dibandingkan Singapura, gaji guru di Indonesia 20 kali lipat lebih rendah.

"Jika melihat level gaji guru-guru negara tetangga, Indonesia termasuk pada tingkat yang rendah. Peningkatan gaji guru tersebut dapat dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan," ujar Boedi.

Aktivitas belajar mengajar di SD Inpres Yowong, Distrik Aso Barat, Kabupaten Keerom, Papua pada 2 Mei 2023. (Antara/Indrayadi TH) 

Namun Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memiliki pendapat berbeda. Bhima mempertanyakan dari mana anggaran untuk menaikkan gaji guru menjadi Rp30 juta. Bukan tidak mungkin, kebijakan yang bombastis ini sulit terealisasi ketika Ganjar terpilih menjadi presiden.

“Janji Ganjar soal gaji guru Rp30 juta lebih absurd lagi, ini mimpi di siang bolong,” ujar Bhima dalam keterangannya kepada VOI.

Dalam kesempatan yang sama, Bhima mengungkapkan seharusnya yang menjadi perhatian Bacapres, terutama Ganjar, bukan soal nominal gaji. Menurutnya, menaikkan gaji guru menjadi hingga Rp30 juta sebulan akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Bhima lebih setuju jika peningkatan guru, baik ASN atau guru honorer mengalami peningkatan setiap tahun. Tujuannya agar gap antara guru ASN dan non-ASN menyempit ke depannya. Untuk memberikan peningkatan terhadap guru dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan memangkas pengeluaran yang tidak urgent dan memangkas perjalanan dinas yang tidak perlu.

“30 juta dikali jumlah guru yang ada di Indonesia, maka APBN kita tidak akan sanggup,” Bhima menambahkan.

Opini serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Dengan jumlah guru yang mencapai 3,37 juta orang, dia memprediksi negara harus mengeluarkan biaya Rp101 triliun setiap bulan hanya untuk menggaji guru.

“Ini berat banget,” kata Tauhid.

Kebijakan Populis Selalu Berulang di Tahun Politik

Janji-janji manis selalu terlontar dari pasangan capres menjelang Pilpres. Janji kampanye para Capres kemudian disebut dengan kebijakan populis. Populisme pada dasarnya adalah variasi metode pendekatan politik yang bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan oleh pemerintah saat itu.

Istilah populis sebelumnya jarang digunakan pada abad ke-20. Populis baru diteliti secara aktif pada tahun 1990-an. Istilah ini marak digunakan setelah Donald Trump menjadi populer di tengah kampanyenya. 

Seiring waktu, istilah populis makin sering digunakan. Menurut Bhima, program populis ini selalu berulang setiap lima tahun sekali menjelang pemilihan presiden.

“Program populis selalu diutarakan setiap lima tahun sekali, oleh siapa pun kandidatnya,” Bhima menjelaskan.

Janji manis dari pada politikus yang berkontestasi menjadi hal yang selalu berulang dalam setiap Pemilu. (Dok. VOI)

Namun, tanpa adanya kejelasan teknis mengenai anggaran yang akan digunakan untuk mendukung kebijakan populis, dia khawatir janji kampanye para Bacapres justru hanya membuat para pemilih merasakan kekecewaan.

“Jangan hanya karena Pemilu, lalu membuat kebijakan yang populis. Ini (kebijakan menaikkan gaji guru jadi Rp30 juta) bukan hanya kebijakan populis, tapi absurd,” jelas Bhima.

“Janji gaji guru Rp30 juta per bulan terlalu berlebihan, khawatirnya guru akan terkecoh dan yang mengamini janji tersebut siap-siap kecewa kalau Pak Ganjar terpilih,” kata Bhima lagi.