Mengupas Tugas dan Dasar Hukum Pembentukan Dewan Media Sosial yang Diusulkan UNESCO
JAKARTA - Belum lama ini, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) berkunjung menemui Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi untuk menyerahkan proposal pembentukan Dewan Media Sosial ada Social Media Council.
Jika Dewan Media Sosial ini resmi dibentuk, maka Dewan ini memiliki fungsi untuk mengawasi konten-konten negatif yang ada di media sosial seperti Instagram, Facebook, TikTok, X, dan lain sebagainya.
Namun demikian, belum ada update lebih lanjut terkait pembentukan Dewan Media Sosial ini. Apakah itu akan menjadi lembaga independen atau menjadi badan pengawas yang berada di bawah naungan Kementerian Kominfo juga belum diketahui.
"Jadi kemarin kan UNESCO berkunjung bertemu dengan Menteri, terus dia konsultasi juga terkait problem-problem, konten-konten negatif di media sosial, begitu. Nah, karena itu dia mengusulkan, bagaimana kalau dikembangkan Dewan Media Sosial," kata Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik (IKP) Usman Kansong kepada VOI ketika dihubungi pada Kamis, 30 Agustus kemarin.
"Ya, kita sendiri juga belum tahu bentuknya, apakah sudah ada hal serupa di negara lain untuk kita jadikan benchmark. Belum ada follow-up lebih lanjut setelah pertemuan Menkominfo dengan UNESCO," jelas Usman lebih lanjut.
Apa itu Dewan Media Sosial dan Apa Tujuannya?
Melansir dari laman resminya, UNESCO menyebutkan bahwa mereka mengajukan proposal proyek pembentukan Dewan Media Sosial ini ke empat negara percontohan, termasuk Bosnia dan Herzegovina, Kolombia, Indonesia, dan Kenya.
Adapun tujuan keseluruhan dari proyek ini adalah untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap penyebaran konten yang berpotensi berbahaya secara online, khususnya pidato kebencian yang menghasut kekerasan sambil melindungi kebebasan berekspresi dan meningkatkan promosi perdamaian melalui teknologi digital, terutama media sosial.
Usman juga menegaskan bahwa keberadaan Dewan Media Sosial ini dipastikan tidak akan membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapatan masyarakat di media sosial.
"Dewan Media Sosial yang diusulkan oleh UNESCO ini adalah sebuah dewan atau lembaga yang ingin meminimalisasi dampak negatif media sosial. Atau melanggar norma-norma seperti misalnya, pornografi atau judi online. Tidak ada hubungannya dengan kebebasan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat," tegasnya.
Baca juga:
- DSA Segera Berlaku, Big Tech di Bawah Pemeriksaan Hukum Baru Uni Eropa
- Apa Itu Publisher Right? Aturan Pengelolaan Media untuk Melawan Dominasi Platform Asing
- Kominfo bakal Buat Dewan Pengawas Media Sosial Bersama UNESCO
- Update: Kominfo bakal Rampungkan 23 Persen Sisa Pembangunan Proyek BTS 4G Tahun Ini
Apa Dasar Hukumnya?
Karena proyek ini masih dalam diskusi tahap awal, Usman mengaku saat ini Kominfo belum tahu dasar hukum apa yang akan digunakan dalam pembentukan Dewan Media Sosial ini. Namun, dia mengatakan mungkin tidak akan berdasar dengan UU ITE.
"Belum (dasar hukum). Kan satu lembaga itu dibentuk dengan undang-undang ya. Misalnya Dewan PERS, itu kan dibentuk dengan Undang-Undang PERS No.40 tahun 1999. Apakah bisa dimasukkan ke Undang-Undang ITE? Saya kira tidak ya," ujarnya.
Karena kata Usman, UU ITE tidak mengamanatkan adanya pembentukan suatu lembaga. "Karena UU ITE itu kan sekarang sedang proses revisi, dan kita di dalam revisi itu nyatanya tidak ada yang mengamanatkan soal pembentukan lembaga atau kelembagaan," jelas Usman.
Apakah ada Kesamaan dengan Undang-Undang Digital Services Act (DSA) di Uni Eropa?
Usman mengatakan, Dewan Media Sosial ini akan berbeda dengan UU DSA yang sekarang berlaku di Uni Eropa. DSA ini justru dijadikan pedoman pemerintah dalam pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights.
"Digital Services Act itu kan sama seperti Publisher Rights kita. DSA itu juga mengamanatkan adanya lembaga. Publisher Rights pun mengamanatkan adanya lembaga. Jadi kalau Digital Services Act itu, pedoman untuk Publisher Rights," ungkapnya.
Menurutnya, DSA ini memiliki tugas yang lebih condong ke pengawasan platform digital, yang berkaitan dengan berita, konten berita. "Misalnya diatur di dalam DSA itu bahwa platform itu harus transparan dalam algoritma maupun perubahan algoritma," tambahnya.