Bung Karno Pilih Jakarta Tetap Jadi Ibu Kota Negara dalam Sejarah Hari Ini, 22 Juni 1964
JAKARTA – Sejarah hari ini, 59 tahun yang lalu, 22 Juni 1964, Presiden Soekarno mengumumkan bahwa Jakarta tetap jadi Ibu Kota Negara Indonesia. Keputusan itu diambil karena besarnya nilai historis yang dikandung oleh Jakarta. Dari tempat Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sebelumnya, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan telah berlangsung dari era penjajahan Belanda. Indonesia meneruskan narasi itu. Namun, Perang Revolusi menjadikan Yogyakarta sebagai Ibu Kota Indonesia yang baru.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa harapan baru. Ikrar itu mampu memutus mata rantai penjajahan. Seisi Nusantara pun menyambutnya dengan gegap gempita. Namun, Belanda tak membiarkan Indonesia merdeka begitu saja.
Rencana menjajah Indonesia kembali dilanggengkan. Mereka mencoba membonceng sekutu Inggris untuk menjajah Indonesia kali dua. Keunggulan persenjataan dan dana jadi kunci percaya diri Belanda. Mereka bahkan memprediksi bakal menang mudah.
Jauh panggang dari api. Prediksi itu meleset. Pejuang kemerdekaan Indonesia ikut melakukan perlawanan sengit. Belanda pun mendapatkan perlawanan berat. Akan tetapi, perang terbuka bukan opsi Belanda untuk keluar sebagai pemenang.
Mereka mencoba melanggengkan teror kepada pemimpin bangsa. Soekarno dan Sutan Sjahrir pernah merasakan nyawanya terancam karena teror. Kondisi itu membuat segenap tokoh bangsa sepakat untuk segera memindahkan kekuasaan ke Yogyakarta.
Semuanya karena Jakarta dianggap tak lagi aman. Sebab, serdadu Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) ada di mana-mana. Empunya kuasa lalu memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946.
“Di petang hari tanggal 3 Januari 1946 aku memberi tahu para menteri, pengawal, dan pembantu-pembantu yang setia: kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita dapat mendirikan benteng republik. Yogyakarta, atau yang populer dengan nama Yogya, memenuhi kebutuhan ini. Yogyakarta juga merupakan pusat dari Jawa.”
“Keputusan telah diambil. Kita akan pindahkan ibu kota besok malam. Tidak seorang pun saudara-saudara boleh membawa harta-benda, aku mengingatkan. Aku juga tidak. Tidak ada waktu untuk mengepak perabot rumah tangga atau memindahkan harta benda. Selain itu saudara-saudara berada di dekatku, jadi saudara-saudara selalu diawasi,” cerita Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).
Pusat Kekuasaan pindah ke Yogyakarta hanya beberapa tahun saja. Sebab, sesudah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara Paripurna pada 1949, Pusat kekuasaan kembali dipindahkan ke Jakarta. Kembali status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara nyatanya menghadirkan pro dan kontra.
Banyak yang beranggapan Jakarta tak terlalu cocok sebagai Ibu Kota Negara. Jakarta terlalu padat dan kerap banjir, katanya. Narasi ibu kota pindah ke Jawa Barat hingga Kalimantan pun mengemuka. Namun, Bung Karno segera ambil sikap. Ia mencoba menghentikan seluruh perdebatan terkait isu perpindahan Ibu Kota.
Ia mantap menetapkan bahwa Jakarta tetap merupakan Ibu Kota Negara Indonesia pada 22 Juni 1964. Ia menegaskan hal itu kala berkesempatan memberikan pidato di Hari Ulang Tahun Jakarta ke-437. Baginya, Jakarta sebagai Ibu Kota sudah merupakan pilihan yang paling efisien. Apalagi, Jakarta unggul dari segi historis dibanding kota-kota lainnya di Indonesia.
“Soekarno akhirnya memutuskan bahwa Jakarta tetap merupakan lokasi yang dipilihnya menjadi Ibu Kota Indonesia. Pada pidato ulang tahun Jakarta ke-437, 22 Juni 1964, ia menegaskan pilihannya itu karena menurutnya, Jakarta sangat efisien. Sejak ibu kota kembali dari Yogyakarta ke Jakarta, segala hal menurut Soekarno berjalan dengan baik.”
“Nama Jakarta juga dia anggap sudah termashur di mana-mana. Lebih dari itu, Sukarno sangat menghargai aspek historis Jakarta yang menjadi lokasi dari beberapa peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia, mulai dari peristiwa Sumpah Pemuda, Proklamasi Pemerdekaan, Trikora atau tiga Komando Rakyat sampai Dwikora (Dwi atau dua Komando Rakyat), dan semangat rakyat Jakarta yang revolusioner dan berkobar-kobar,” terang Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta (2020).
Baca juga:
- Kepekaan Bung Hatta dalam Toleransi Beragama
- Sejarah Hari Ini, 21 Juni 1979: Makam Bung Karno Diresmikan Usai Setahun Pemugaran
- Diplomasi Ikan Indonesia - Jepang: Simbol Persahabatan Presiden Soeharto dan Kaisar Akihito
- Ali Sadikin Diajukan sebagai Calon Presiden Indonesia dalam Sejarah Hari Ini, 20 Juni 1977