Soroti Kasus Pemerkosaan Anak di Bawah Umur di Sulteng, Puan: Tak Ada Tolerir untuk Kekerasan Seksual
JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani kembali menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak di bawah umur. Ia menekankan, dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pemerintah memiliki kewajiban menindak tegas pelaku dan memberikan perlindungan bagi korban.
“Tidak ada tolerir terhadap kekerasan seksual. Tindak tegas pelaku kekerasan seksual seberat-beratnya,” kata Puan dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Senin, 29 Mei.
Puan pun meminta penegak hukum mengusut tuntas kasus pemerkosaan terhadap perempuan di bawah umur di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah (Sulteng).
Korban diduga diperkosa oleh 11 pria hingga membuatnya mengalami gangguan reproduksi dan terancam menjalani operasi angkat rahim.
Kepolisian saat ini telah menetapkan 10 tersangka, di mana dua orang di antaranya berprofesi sebagai kepala desa (Kades) dan guru. Untuk seorang lainnya yang diduga oknum kepolisian, saat ini pihak berwajib belum menaikan statusnya dari saksi menjadi tersangka.
Dalam UU TPKS, beberapa profesi dapat dijatuhi hukuman lebih berat dengan tambahan hukuman 1/3 dari ancaman pidana, seperti pendidik, tenaga kesehatan, tenaga medis, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban.
Oleh karenanya, Puan menekankan pentingnya aturan teknis dari UU TPKS segera diterbitkan.
“Berkali-kali saya sudah ingatkan agar aturan turunan UU TPKS segera dibuat agar penanganan kasus kekerasan seksual yang sudah seperti puncak gunung es di Indonesia ini dapat lebih optimal,” tegas perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Atas kejadian pemerkosaan di Kab Parimo, Puan mengecam keras apabila terbukti adanya keterlibatan kades, guru, hingga petugas berwenang lainnya. Apalagi korban adalah anak yang masih berusia 15 tahun.
“Ini perilaku yang tidak bermoral. Pejabat desa dan tenaga pengajar seharusnya bisa memberi teladan, bukan malah merusak masa depan seorang anak. Jika terbukti benar mereka terlibat, harus dihukum lebih berat,” ucap Puan.
“Harus ada tindakan tegas bagi pelaku. Pihak berwenang harus memberikan perlindungan maksimal bagi korban,” imbuh mantan Menko PMK itu.
Puan juga mendorong Pemerintah Daerah memberikan pendampingan bagi korban dan keluarganya, termasuk perawatan medis untuk fisik dan mental korban.
“Pemerintah Daerah harus bersinergi dengan kepolisian dalam mengawal kasus ini, jangan sampai ada keterlambatan penanganan bagi kesehatan korban. Pemerintah harus menjamin keamanan, keselamatan serta kesehatan anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” jelas Puan.
Lebih lanjut, cucu Bung Karno tersebut memastikan DPR akan terus mengawal kasus-kasus kekerasan seksual yang ada. Puan menekankan, proses hukum harus dilakukan seterang-terangnya demi keadilan korban kasus kekerasan seksual.
“Kami di DPR akan mengawal setiap kasus kekerasan seksual. Jalan damai tidak boleh menjadi pilihan utama dalam kasus seperti ini, pelaku harus ditindak tegas dengan hukuman maksimal!” ungkapnya.
Di sisi lain, Puan mengingatkan Pemerintah untuk menggencarkan sosialisasi layanan pelaporan bagi para korban kekerasan seksual, sekaligus menjamin perlindungan keamanan identitas pelapor.
"Perlindungan bagi korban kekerasan seksual harus selaras dengan penuntasan semua kasus dan respons cepat terhadap setiap laporan yang masuk," papar Puan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus.
Sementara kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022 di mana mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Untuk menekan jumlah tersebut, Puan kembali mengingatkan Pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksana UU TPKS.
“UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa menjadi instrumen negara dalam menangani, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual serta melaksanakan penegakan hukum,” ungkapnya.
Baca juga:
- Dugaan Pelanggaran Etik Pemberhentian Brigjen Endar Tinggal Tunggu Naik Persidangan
- KPK Pastikan Penetapan Tersangka Sekretaris MA Hasbi Hasan Seuai Aturan
- Mekopolhukam Bentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum untuk Menangani Karut-marut Hukum di Indonesia
- Polisi Temukan Bukti Digital Kasus Dugaan Pencabulan Mario Dandy
Puan juga meminta komitmen Pemerintah dan penegak hukum untuk mempercepat penyelesaian setiap kasus kekerasan seksual. Dengan adanya respons cepat, ia meyakini kasus kekerasan seksual yang masih menjadi momok di Indonesia bisa berkurang karena adanya penerapan hukum dan perlindungan korban yang tepat.
“Jangan sampai ada kenaikan kasus kekerasan seksual setiap tahunnya, UU TPKS disahkan sebagai pelindung bagi korban dan pemberian hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan seksual,” tutup Puan.