Toko Buku Gunung Agung dan Buku-Buku Presiden Soekarno

JAKARTA - Kecintaan Presiden Soekarno terhadap buku tiada dua. Baginya tiada hari tanpa membaca. Apalagi koleksi buku Bung Karno bejibun. Bung Karno menganggap buku penuh dengan inspirasi. Ia pun ingin segenap rakyat Indonesia dapat gemar membaca.

Mimpinya itu mendekatkannya dengan sosok pengusaha, Tjio Wie Tay (Masagung). Pemilik Toko Buku Gunung Agung pun memiliki cita-cita yang sama. Kesamaan visi itulah yang membuat Soekarno mempercayakan seluruh buku tentangnya dicetak dan diedarkan Gunung Agung.

Buku-buku kerap menemani perjalanan hidup Soekarno. Bahkan, semenjak Bung Karno masih belajar di bangku sekolahan. Ia mampu memanfaatkan status ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo sebagai anggota perkumpulan Theosofi untuk membaca banyak buku.

Ia dengan bebas dapat membaca buku apa saja yang menjadi koleksi perpustakaan besar dari perkumpulan itu. Kesukaannya akan buku kemudian meningkat kala ia ‘mondok’ di rumah Haji Omar Said (H.O.S) Tjokroaminoto.

Tokoh Sarekat Islam itu berbagi banyak hal kepada Soekarno. Alih-alih cuma pengetahuan, Tjokroaminoto juga membagi buku-buku yang ia baca. Bung Karno pun banyak tersadar, bahwa buku adalah gudangnya ilmu pengetahuan.

Salah satu gerai Toko Buku Gunung Agung di Jl. Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada 1954. (Wikimedia Commons)

Ia menyakini banyak pemikiran tokoh dunia dijumpainya lewat buku. Dari Giuseppe Mazzini hingga Karl Marx. Alhasil, Bung Karno menganggap buku adalah satu-satunya harta kekayaan yang paling berharga. Apalagi kala Bung Karno menjalani hukuman pengasingan di Ende (1934-1939), kemudian Bengkulu (1938-1942).

Ia pun bermimpi bahwa segenap rakyat Indonesia dapat gemar membaca. Keinginan itu bersambut. Takdir mempertemukannya dengan seorang pengusaha. Tjo Wie Tay, namanya. Pemilih Toko Buku Gunung Agung itu kerap membantu keinginan Soekarno untuk memasok buku ke seantero negeri. Bung Karno pun mendukung penuh bisnis pria yang akrab disapa Masagung.

“Gunung Agung membangun sedikit demi sedikit sebuah banguan besar bertingkat tiga di tempat toko kecil yang dulu di Jalan Kwitang, Jakarta, dan membuka cabang di Yogyakarta serta Surabaya (keduanya merupakan kota universitas), kemudian di kota-kota penting di Irian Barat, begitu wilayah itu secara resmi menjadi bagian Indonesia pada 1963.”

“Keberhasilan cepat Tjo Wie Tay, yang mengambil nama Indonesia Masagung pada tahun yang sama. Dapat dijelaskan sebagian oleh hubungan dekatnya dengan Presiden Soekarno. Dengan demikian, meskipun dalam bentuk lain, kami dapati kembali persekutuan antara pengusaha dan penguasa yang dulu juga membuat Kapitan China, Souw Beng Kong kaya raya pada abad ke-17,” terang Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996).

Terbitkan Buku Soekarno

Soekarno yang seorang pecinta buku tentu jatuh hati pada toko buku milik Masagung. Apalagi Bung Karno kerap dibuat kagum dengan hajatan pameran buku yang dihadirkan Toko Buku Gunung Agung. Karenanya, toko buku itu dianggap sebagai bagian dari pelaksana mimpi Indonesia untuk mencerdaskan anak bangsa.

Bung Karno pun mengakui pengaruh besar dari toko Gunung Agung menyebarkan ideologinya. Alhasil, Bung Karno lalu mempercayakan kepada Masagung untuk memonopoli distribusi karyanya. Baik yang ditulis sendiri oleh Soekarno atau orang lain.

Soekarno senang. Begitu pula dengan Masagung. Toko Buku Gunung Agung jadi terkenal di seantero negeri. Semua karena pendukung Bung Karno berbondong-bondong datang untuk membeli buku-buku terkait Sang Panglima Revolusi. Apalagi, kala Bung Karno mengeluarkan mahakaryanya Di Bawah Bendera Revolusi (1959).

Bung Karno saat menghadiri Pekan Buku Indonesia di Toko Buku Gunung Agung pada 1954. (Wikimedia Commons)

Buku yang berisikan puncak pemikiran dan kreativitas Bung Karno itu jadi serbuan banyak orang. Pendukung Bung Karno tiada yang tak ingin menjadikan Di Bawah Bendera Revolusi sebagai koleksi. Kesuksesan buku itu membuat Bung Karno ikut menyarankan penerbitan buku tentangnya yang lain. Pun Toko Buku Gunung Agung lagi-lagi mendapatkan kehormatan perihal distribusinya.

“Buku ini diterbitkan oleh PT Gunung Agung, penerbit yang dipimpin Masagung sahabat dekat Presiden Soekarno pada saat kritis. Pada tahun yang sama pula, penerbit tersebut menerbitkan sebuah buku yang yang berjudul Bung Karno Putra Fajar, yang ditulis oleh Solichin Salam berdasarkan penelitian serta wawancara dengan Presiden Soekarno.”

“Buku tersebut hampir tidak dapat terbit, kalau tidak ada kesédiaan PT Gunung Agung untuk menerbitkannya. Maklum, situasi pada saat itu, kedudukan Presiden Soekarno dalam posisi sulit akibat Peristiwa Gerakan 30 Seprember sehingga menyebabkan sejumlah penerbit enggan menerbitkannya. Ketika Soekarno disingkirkan dari kekuasaannya dan berstalus sebagai tahanan politik, situasi Desoekarnoisasi yang digerakkan pemerintahan Orde Baru terjadi,” terang Sejarawan Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).