Rusia Denda Google karena Gagal Menghapus Video yang Mempromosikan LGBT dan Informasi Palsu
JAKARTA - Sebuah pengadilan Rusia menjatuhkan denda sebesar 3 juta rubel (Rp567 juta) kepada Google, anak perusahaan Alphabet, pada Kamis lalu karena dianggap gagal menghapus video YouTube yang diduga mempromosikan "propaganda LGBT" dan "informasi palsu" tentang kampanye militer Rusia di Ukraina, demikian dilaporkan oleh agensi berita Rusia.
Dalam setahun terakhir, pihak Moskow telah memberlakukan puluhan denda terhadap perusahaan teknologi Barat sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kontrol atas apa yang dilihat oleh pengguna internet Rusia secara online.
Selain menerapkan undang-undang sensor ketat setelah mengirimkan pasukan ke Ukraina, Rusia juga memperkuat undang-undangnya terhadap apa yang disebutnya sebagai "promosi propaganda LGBT" pada tahun lalu.
Baca juga:
- Wendy's Gunakan Chatbot AI "Wendy's FreshAI" untuk Pesanan Drive-Thru
- BuzzFeed Akan Gunakan AI sebagai Strategi Menahan Penurunan Pendapatan
- Helion Energy, Akan Menyediakan Listrik untuk Microsoft Melalui Fusi Nuklir
- Google Hadirkan Teknologi AI Generative Baru untuk Tetap Menangkan Pasar Iklan Pencarian
Di bawah undang-undang baru tersebut, yang melebarkan interpretasi Rusia tentang apa yang dianggap sebagai "propaganda LGBT" dan telah dikritik oleh kelompok hak asasi manusia independen, tindakan atau penyebaran informasi apapun yang dianggap sebagai upaya untuk mempromosikan homoseksualitas di masyarakat, online, atau dalam film, buku, atau iklan, dapat dikenai denda berat.
Jaksa Rusia mengatakan bahwa Google telah menolak untuk menghapus beberapa video yang diposting di YouTube, termasuk satu dari seorang blogger yang dianggap sebagai "agen asing" oleh Moskow tentang bagaimana pasangan sesama jenis membesarkan anak dan tentang komunitas LGBT di St. Petersburg, menurut laporan TASS.
Anak perusahaan Google di Rusia mengajukan kebangkrutan tahun lalu setelah otoritas mengambil alih rekening banknya menyusul denda sebesar 7,2 miliar rubel (Rp1,3 triliun) pada Desember 2021 atas apa yang disebut otoritas Rusia sebagai "kegagalan berulang" perusahaan dalam menghapus konten.