Pernikahan Presiden Soekarno dan Ratna Sari Dewi dalam Sejarah Hari Ini, 3 Maret 1962
JAKARTA – Sejarah hari ini, 61 tahun yang lalu, 3 Maret 1962, Presiden Soekarno menikah secara diam-diam dengan Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi). Pernikahan dilakukan di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Apalagi perkawinan itu bukan perkawinan pertama bagi Soekarno.
Sebelumnya, pertemuan keduanya berlangsung di Jepang. Soekarno dan Naoko sama-sama memiliki minat yang sama terkait seni. Soekarno suka melukis, begitu pula dengan Naoko. Hubungan itu kemudian berlanjut ke jenjang lebih serius.
Naoko Nemoto tak pernah berpikiran bahwa seni dan sastra hanya ‘monopoli’ kalangan berada saja. Ia yang lahir dari keluarga pas-pasan juga bisa belajar keduanya. Semuanya karena kekuatan mimpi Naoko yang ingin jadi pelukis, pengarang, dan kritikus sastra.
Mimpi itu ditanamnya di dalam sanubari. Dunia lalu memberikan Naoko jalan. Ia dapat menjadi bagian dari perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo. Semenjak itu, keinginan Naoko belajar seni dan sastra tercukupkan. Pun ia ingin dapat mengabdikan diri di dalamnya.
Nyatanya, kedekatannya terhadap seni justru menuntunnya untuk menemukan jodoh. Ia berjumpa dengan seorang pria yang memiliki minat yang sama dengannya di Hotel Imperial Tokyo pada 1958.
Naoko merasa berjumpa dengan seseorang yang tepat. Ia berjumpa dengan pria yang memiliki pengetahuan seni cukup dalam. Pria itu adalah Presiden Soekarno. Naoko pun merasa nyaman dengan Bung Karno, begitu pula sebaliknya.
“la juga bercita-cita menjadi pengarang dan kritikus sastra. la pun suka menyanyi serta menari klasik Jepang. Bahkan bermain drama pada perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo. Bung Karno yang pertama kali berjumpa dengan Naoko di Hotel Imperial Tokyo mengaku, bahwa bukan hanya kecantikan gadis Jepang itu belaka yang membuat dirinya kasmaran.”
“Namun, lebih dari segala-galanya, hasrat dan keleburan Naoko kepada senilah yang menjeratnya. Sehingga Bung Karno terpaksa melamar dengan kata-kata mutiara: Jadilah engkau sumber inspirasi dan kekuatanku. Pada hari-hari selanjutnya Naoko Nemoto diberi nama baru oleh Bung Karno: Ratna Sari Dewi,” ungkap Agus Dermawan T dalam buku Bukit-Bukit Perhatian (2004).
Hubungan keduanya makin hari makin dekat. Kedekatan itu lalu membawa keduanya untuk sepakat melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius. Bung Karno pun menyatakan niatannya untuk mempersunting Naoko.
Gayung pun bersambut. Keduanya menikah secara diam-diam pada 3 Maret 1962 di Jakarta. Pernikahan keduanya tak banyak orang yang tahu. Sebab, hanya teman-teman dekat Soekarno yang tahu, termasuk dokter pribadinya, R. Soeharto.
Baca juga:
- Presiden Soeharto Pernah Melarang Pejabat Negara Bermewah-Mewahan
- Larangan Imigran China Ilegal Masuk Batavia dalam Sejarah Hari Ini, 2 Maret 1717
- Bangun Jam Empat Pagi, Cara Istri HOS Tjokroaminoto Ajarkan Ilmu Kedisiplinan pada Soekarno
- Instruksi Mendagri Soal Pelayanan Umat Khonghucu di Catatan Sipil dalam Sejarah Hari Ini, 24 Februari 2006
Opsi pernikahan diam-diam itu dilakukan karena kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bung Karno banyak dikritik karena melulu membela proyek mercusuar, dibandingkan memikirkan nasib rakyat. Kondisi itu semakin buruk karena pernikahan itu bukan pernikahan pertama Bung Karno. Semenjak itu, rakyat Indonesia mengenal Naoko sebagai Ratna Sari Dewi.
“Pernikahan Bung Karno dan Ratna Sari Dewi pada tanggal 3 Maret 1962 tidaklah begitu mengejutkan, karena hubungan keduanya sudah berlangsung sejak tahun 1958. Apapun yang dikatakan tentang pernikahan itu, tapi seperti apa yang dibuktikan oleh sejarah, hubungan keduanya berdasarkan cinta kasih.”
“Perkawinan mereka pun bukannya tanpa rintangan, karena keluarga Ratna Sari Dewi tidak menyetujuinya. Ratna Sari Dewi yang saya kenal adalah wanita cantik, cerdas, belezen (banyak membaca), senang, dan dapat melukis, pandai bergaul dengan kalangan asing karena cepat menguasai beberapa bahasa asing. Ia memiliki kemauan keras, dan selalu berterus terang jika mengemukakan pendapat,” ungkap R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1984).