Meski Dibangun di Era Anies, Jakpro Tegaskan Tarif Sewa Kampung Susun Bayam Tak Bisa Semurah Kampung Akuarium

JAKARTA - VP Corporate Secretary PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Syachrial Syarief menegaskan bahwa biaya sewa bulanan Kampung Susun Bayam tidak bisa dipatok dengan harga semurah Kampung Susun Akuarium.

Hal ini menanggapi tuntutan warga bekas gusuran Jakarta International Stadium (JIS), selaku calon penghuni Kampung Susun Bayam, yang menginginkan sewa huniannya bisa serendah Kampung Susun Akuarium.

Pada Kampung Susun Akuarium yang kini sudah dihuni, warga hanya perlu membayar biaya sewa bulanan sekitar Rp34 ribu hingga Rp40 ribu per bulan. Namun, tarif sewa Kampung Susun Bayam direncanakan berkisar Rp600 ribu hingga Rp700ribuan per bulan.

"Memang, beberapa kali penyampaian teman teman itu merujuk kepada (Kampung Susun) Akuarium. Cuma sepengetahuan, kami berbeda proses pembangunan dan pengelolaannya," kata Syahril kepada wartawan, Senin, 20 Februari.

Kedua hunian ini memang sama-sama dibangun pada era Anies Baswedan semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta. Namun, Kampung Susun Akuarium dikelola oleh koperasi warga setempat. Penghuni cukup membayar biaya operasional hunian kepada koperasi.

Sementara, Kampung Susun Bayam dikelola oleh Jakpro yang notabene merupakan badan usaha. Jakpro tak bisa mematok biaya sewa hunian dengan nominal rendah dan merugikan keuangan perusahaan.

"Kalau (Kampung Susun Bayam) ini kan pengelolaannya Jakpro, itu berarti entitas usaha yang mengelola. Jadi, akan berbeda dengan (Kampung Susun) Akuarium," urainya.

Sejumlah warga terdampak penggusuran Jakarta International Stadium (JIS) pada hari ini kembali mendatangi Balai Kota DKI Jakarta untuk kesekian kalinya, untuk menuntut agar mereka segera menempati Kampung Susun Bayam.

Sejak Kampung Susun Bayam diresmikan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswdan pada Oktober 2022 lalu, warga gusuran Kampung Bayam belum juga bisa menempati hunian tersebut sampai saat ini.

Hari ini, warga Kampung Bayam didampingi LBH Jakarta melayangkan surat keberatan administrasi kepada Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan PT Jakarta Propertindo selaku pengelola untuk segera memberikan unit Kampung Susun Bayam.

Satu masalah yang menyebabkan warga belum juga menempati Kampung Susun Bayam adalah besaran tarif sewa hunian per bulan yang belum juga disepakati. Warga gusuran JIS tidak sepakat dengan tarif yang ditawarkan PT Jakpro selaku pengelola Kampung Susun Bayam.

Jakpro telah menawarkan biaya sewa Kampung Susun Bayam sekitar Rp750 ribu per bulan. Mereka mengklaim hal ini telah sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan.

Hanya saja, pengaturan biaya sewa hunian dalam Pergub 55/2018 memang berbeda-beda tiap jenisnya, yakni rumah susun terprogram dan umum. Nominal yang ditawarkan Jakpro jelas ditentang warga Kampung Bayam. Mereka merasa tak sanggup membayar nominal sewa tersebut.

Mereka (Jakpro) pakai adalah tarif sesuai dengan Pergub Nomor 55 dan itu kami dijatuhkan di umum. Sedangkan kami termasuk warga yang terdampak (program penggusuran). Kami keberatan. Kita itu termasuk warga yang terprogram," kata perwakilan warga Kampung Bayam, Sherly saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta.

Sherly pun membandingkan nasib mereka dengan warga Kampung Susun Akuarium sekitar Rp34 ribu hingga Rp40 ribu per bulan. Penghuni Kampung Susun Akuarium merupakan warga terdampak penggusuran Kampung Akuarium yang kemudian kembali mendapat hunian setelah ditata pada era Anies Baswedan semasa menjabat Gubernur DKI.

"Contoh, (Kampung) Akuarium itu kan korban penggusuran. Mereka soal biaya (hunia) itu juga ditanggung oleh koperasi. (Kampung Susun) Akurium tidak gratis, bayar tiap bulan Rp34 ribu (per bulan) selama beberapa tahun. Setelah itu, menjadi milik koperasi. Nah, kita mau seperti itu," ujar Sherly.

Namun, Sherly mengaku pembayaran Kampung Susun Bayam tidak perlu sama persis dengan nominal Kampung Susun Akuarium. Yang jelas, besaran tarif sewanya masih memenuhi kemampuan warga Kampung Bayam.

"Warga inginnya membayar yang sesuai kemampuan. Kalau kisaran mungkin Rp150 ribu per bulan, itu seharusnya paling besar. Karena penghasilan, maaf, yang namanya pemulung dan pekerja kasar pabrik-pabrik cuma Rp1,5 juta," tutur dia.