Soal Banjir, Jakarta dan Semarang Punya Cerita Serupa
JAKARTA – Banjir yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah sejak 31 Desember 2022 sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat. Jalan-jalan protokol seperti di Kaligawe, Mangkang, Kota Lama, hingga kawasan Simpang Lima terendam dengan ketinggian air berkisar antara 30-50 sentimeter.
Kondisi belum sepenuhnya pulih hingga saat ini. Sejumlah wilayah seperti di kawasan Trimulyo, Genuk, pada Rabu (4/1) masih terendam dengan ketinggian air lebih dari 30 sentimeter di beberapa titik.
Begitupun di Jakarta. Hujan deras yang mengguyur pada 1 Januari lalu juga mengakibatkan 15 ruas jalan, khususnya di wilayah Jakarta Utara tergenang. Banjir kemungkinan berlanjut akibat rob.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mengimbau agar masyarakat yang berada di pesisir selalu waspada dan siaga mengantisipasi dampak dari pasang maksimum air laut dalam beberapa hari ke depan.
"Berdasarkan siaran pers BMKG tentang peringatan potensi banjir pesisir (rob) tanggal 3-10 Januari 2023 terdapat adanya fenomena bulan purnama (full moon) pada tanggal 6 Januari 2023 berpotensi meningkatkan ketinggian air laut maksimum," tulis @bpbddkijakarta pada 2 Januari lalu.
Semarang dan Jakarta adalah dua kota yang memiliki banyak kesamaan secara geografi. Selain berada di pesisir, menurut pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga, keduanya juga dilewati banyak sungai.
Kota Semarang dilalui 9 sungai, yakni Sungai Garang (Kanal Barat), Sungai Semarang, Sungai Kanal Timur, Sungai Sringin, Sungai Plumbon, Sungai Karanganyar, Sungai Bringin, Sungai Cilandak, dan Sungai Siangker
Adapun Kota Jakarta dilalui 13 sungai, yakni Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Mookevart, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung.
Selain itu, kedua kota juga mengalami penurunan permukaan tanah. Semarang rata-rata 4-6 sentimeter per tahun, sedangkan Jakarta bisa 8-24 sentimeter per tahun karena beban pembangunan yang lebih besar.
“Sehingga, secara umum penyebab banjir tak berbeda jauh. Sungai sama-sama mengalami pendangkalan, kapasitas berkurang hingga air meluap membanjiri sekitar. Saluran-saluran drainase juga terbatas, tidak mampu menampung curah hujan tinggi. Pada akhirnya rentan banjir, belum lagi bila air laut mengalami pasang,” terang Nirwono kepada VOI, Rabu (4/1).
Sudah Sejak Masa Kolonial
Begitupun secara historis. Banjir di Semarang dan Jakarta sudah terjadi sejak zaman kolonial. Berdasar catatan Van Bemmelen, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan berbagai upaya mencegah banjir, antara lain dengan mega proyek kanalisasi sungai pada 1875. Proyek penanggulangan banjir ini berjalan selama empat tahun.
Van Bemmelen adalah ahli geologi Belanda yang banyak melakukan survei awal terhadap vulkanisme dan tektonisme di Indonesia pada masa kolonial. Ternyata, langkah itu tidak berjalan efektif seiring dengan penggundulan hutan yang kerap dilakukan oleh para penjajah.
Tercatat, Semarang telah beberapa kali mengalami banjir besar, antara lain pada 1922, pada 10 Januari 1963, 22 Januari 1976, 25 Januari 1990, dan 25 Desember 2006.
Sedangkan di Batavia (nama Jakarta tempo dulu), banjir besar pernah terjadi pada 1621. Tepatnya tiga tahun setelah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sampai di Batavia. Perusahaan tersebut langsung membuat kanal di dalam kota. Penggalian kanal didokumentasikan sejak abad kelima dalam Prasasti Tugu.
Para ahli menilai, tidak hanya untuk mengatasi banjir, penggalian kanal juga sebagai alat transportasi bagi penduduk keturunan Eropa. Lebih dari lima kanal dibangun sejak VOC menguasai Batavia dalam 30 tahun. Langkah ini juga tidak berdampak besar dalam mengatasi banjir.
Solusi Atasi Banjir
Kendati begitu, Nirwono yakin dengan komitmen kuat banjir di Semarang dan Jakarta dapat teratasi. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit pula.
Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan, antara lain memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan konservasi hutan lindung sebagai daerah resapan air, dan revitalisasi danau atau waduk sebagai daerah tangkapan air.
“Tak hanya untuk mengatasi banjir, keberadaan RTH juga bisa menjadi wadah berinteraksi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat kota,” kata Nirwono.
Langkah selanjutnya, regenerasi sungai dan drainase, serta merestorasi kawasan pesisir dan mereforestasi hutan mangrove untuk melengkapi keberadaan tanggul.
“Rehabilitasi seluruh drainase dilakukan dengan memperbesar dimensi eksisting, misal dari 50cm ke 1,5m, 1m ke 3m, 1,5m ke 5m dan terhubung ke situ, danau, embung, waduk, dan RTH terdekat,” lanjut Nirwono.
Yang menjadi catatan juga, banyak drainase yang dibangun oleh pengembang perumahan tidak terhubung dengan drainase premier, sekunder, dan tersier.
Saluran primer adalah sungai, sekunder adalah saluran air di badan jalan atau penghubung sungai, sedangkan tersier adalah saluran yang berasal dari lingkungan tempat tinggal penduduk.
“Saluran drainase juga harus dirawat rutin agar bebas dari sampah, limbah, dan lumpur, serta ditata ulang jaringan utilitas terpisah dan terpadu dengan revitalisasi trotoar," imbuh Nirwono.
Baca juga:
- Kasus Malika: Tak Mudah Menghilangkan Trauma Korban Penculikan Anak
- Belajar dari Kasus Penculikan Malika: Orangtua Harus Memahami Fase Perkembangan Anak
- Apakah Perubahan Aturan Ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja Menguntungkan 143,7 Juta Tenaga Kerja?
- Menengok Kembali Perjalanan UU Cipta Kerja, dari RUU hingga Menjadi Perppu