Pinjol Ajarkan Anak Muda Tarik Utang Demi Hedonisme, OJK Bisa Apa?

JAKARTA – Tiga orang remaja putri berusia sekitar 19 tahun tampak berjalan beriringan di depan deretan ruko.

Dua dari tiga remaja putri itu tampak menenteng tas belanja yang berisi sejumlah barang.

Satu di antaranya lalu bertanya bagaimana mereka bisa membeli barang tanpa takut kehabisan uang. Sembari tertawa keduanya lantas menjawab semua ini berkat utang dari sebuah aplikasi pinjaman online (pinjol).

“Kan bisa dibayar setelah gajian,” kata orang itu.

Sejurus kemudian kedua remaja puteri ini mengungkapkan bagaimana kemudahan berutang yang dimaksud fasilitas peminjaman hingga Rp50 juta dan tenor paling lama 12 bulan.

“Kita minggu depan mau belanja lagi,” sambung dia.

Sontak, keterangan itu membuat remaja putri yang bertanya merasa tertarik dan berniat mengunduh aplikasi serupa.

Demikian kira-kira gambaran sebuah video penawaran dari perusahaan pinjol berlisensi resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini marak beredar di media sosial utama.

Hedonisme dan aktivitas konsumsi yang tinggi dengan menyasar kalangan remaja puteri dianggap menjadi ramuan mujarab dalam menggaet nasabah secara cepat serta masif.

Dalam sebuah analogi ekonomi, utang konsumsi tidak lebih baik jika dibandingkan dengan utang yang dibuat untuk kegiatan produktif.

Untuk itu, sudah sebijaknya perusahan penyelenggara pinjol juga memiliki rasa tanggung jawab sosial untuk membantu pemerintah melakukan edukasi ke masyarakat demi pembangunan ekonomi yang lebih komprehensif.

Bukan semata-mata kepentingan bisnis dengan ‘mengorbankan’ remaja puteri yang secara kemampuan finansial belum mencapai taraf settled.

Semangat pembelajaran ini selaras dengan yang disuarakan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) Sunu Widyatmoko.

“AFPI berkomitmen menghadirkan edukasi dan sosialisasi yang relevan melalui kolaborasi dan sinergi dengan pemerintah serta asosiasi lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu dikutip redaksi pada Selasa, 12 Desember.

Sementara itu, OJK selaku regulator sektor jasa keuangan juga kerap kali menegaskan jika program edukasi keuangan dilakukan masif secara online maupun tatap muka, termasuk program edukasi ke perguruan tinggi dan sekolah.

“Selain restrukturisasi kredit/pembiayaan, permasalahan yang paling banyak diadukan konsumen adalah soal keberatan atas perilaku petugas penagihan,” kata OJK dalam siaran pers usai Rapat Dewan Komisioner (RDK) periode November.

Dalam risalah itu, terungkap pula jika OJK hingga kini masih mengkaji pengaturan batas maksimal suku bunga yang dibebankan kepada nasabah fintech peer to peer lending alias pinjol.

VOI mencatat, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L.

Tobing pernah mengatakan, bahwa pihaknya tidak menentukan batasan atas maupun bawah dari biaya pengembalian dana pinjaman (bunga) yang disalurkan oleh perusahan pinjol.

“OJK tidak pernah menentukan batas atas atau bawah mengenai kredit (pinjol),” ujarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan pertengahan tahun lalu.

Menurut Tongam, besaran interest rate tersebut sangat bergantung dari mekanisme yang pasar yang ada pada saat itu.

“Itu (bunga) diserahkan kepada pasar,” tegasnya.

Tongam berkilah jika keputusan melakukan penarikan pinjaman online sepenuhnya berada di tangan nasabah.

“Banyak fintech lending (pinjol) yang memberikan layanan kepada mereka (dengan bunga yang wajar). Jadi, peluang-peluang ini yang perlu diambil masyarakat agar masyarakat juga dapat mengambil keputusan cerdas dan tidak menyesal di kemudian hari,” kata dia.

Untuk diketahui, OJK telah mendapat persetujuan DPR atas anggaran 2023 yang sebesar Rp7,45 triliun sesuai proyeksi penerimaan dan pungutan pada tahun depan.

Bujet tersebut diklaim bakal digunakan untuk kegiatan operasional, kegiatan administrasi, kegiatan pengadaan aset dan kegiatan pendukung lainnya.