Regulator Turki Denda Meta Platform Inc. Rp287 Miliar karena Langgar UU  Persaingan

JAKARTA - Otoritas persaingan Turki telah pada Rabu 26 Oktober mendenda perusahaan induk Facebook, Meta Platforms Inc, sebesar 346,72 juta lira (Rp 287 miliar) karena melanggar undang-undang persaingan.

Regulator Turki mengatakan Meta selama ini memegang posisi dominan dalam layanan jejaring sosial pribadi dan iklan video online. Mereka juga dituduh telah menghalangi pesaing dengan menggabungkan data yang dikumpulkan melalui layanan intinya Facebook, Instagram dan WhatsApp.

 Pada tahun 2021, otoritas persaingan meluncurkan penyelidikan ke WhatsApp, dan kemudian Facebook Inc., setelah aplikasi perpesanan memperbarui persyaratan layanannya dengan mengatakan bahwa pihaknya berhak, dari pemiliknya Facebook Inc dan anak perusahaannya untuk mengumpulkan data pengguna seperti nomor telepon dan lokasi, perubahan yang diluncurkan secara global.

Seorang juru bicara Meta Platform mengatakan perusahaan tidak setuju dengan temuan penyelidikan dan akan mempertimbangkan semua opsi, termasuk melakukan banding.

"Pembaruan tahun 2021 tidak meminta pengguna untuk setuju mengizinkan Facebook mengumpulkan data pengguna. Ini memberikan informasi yang lebih jelas dan lebih rinci kepada pengguna kami tentang bagaimana dan mengapa kami menggunakan data," kata juru bicara itu, seperti dikutip Reuters. Jubir juga menambahkan bahwa tidak ada perubahan pada pembagian data WhatsApp dalam praktik dengan pembaruan itu.

 Otoritas persaingan Turki mengatakan Meta harus bertindak untuk memulihkan persaingan di pasar ini dan menyiapkan laporan tahunan tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk lima tahun ke depan.

Menurut mereka denda didasarkan pada pendapatan 2021 milik perusahaan dan perusahaan dapat menolak keputusan itu dalam waktu 60 hari.

Perusahaan media sosial telah menjadi fokus perhatian di Turki, yang mengadopsi undang-undang baru pekan lalu yang akan memenjarakan jurnalis dan pengguna media sosial hingga tiga tahun karena menyebarkan materi yang dianggap "disinformasi".

Analis mengatakan perusahaan media sosial tidak mungkin sepenuhnya mematuhi undang-undang di Turki, yang mengharuskan mereka untuk menghapus materi tersebut dan membagikan data pengguna kepada pihak berwenang.