Yakin Indonesia Tak Alami Resesi, Eks Menkeu Chatib Basri: Pertumbuhan Ekonomi Melemah, Tapi Tidak Negatif
JAKARTA - Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan Indonesia berpotensi kecil mengalami resesi dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) menurun pada 2023.
“Saya tidak melihat kemungkinan Indonesia untuk mengalami pertumbuhan negatif, mungkin pertumbuhan ekonomi akan melemah, tetapi tidak negatif,” kata Chatib Basril dalam SOE Internasional Conference yang dikutip Antara, Selasa 18 Oktober.
Lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional atau Internasional Monetary Fund (IMF) sebelumnya hanya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2 persen secara tahunan menjadi 5 persen pada 2023.
“Barangkali dalam skenario kasus terburuk, kita mungkin akan tumbuh 4 persen secara tahunan di bawah situasi seperti ini,” katanya.
Sebelumnya ia menjelaskan Indonesia lebih kecil terdampak resesi global karena keterhubungannya dengan rantai pasok global masih rendah, sebagaimana tampak dari sumbangan ekspor terhadap PDB yang hanya mencapai 19,79 persen di kuartal II 2022.
Penting untuk menyiapkan diri terhadap potensi terburuk, tetapi optimisme tetap perlu dijaga secara berkelanjutan agar masyarakat terus bersedia membelanjakan uang mereka. Pasalnya lebih dari 50 persen dari PDB disumbang oleh konsumsi masyarakat.
Baca juga:
- Kabar Baik Guys! Bu Sri Mulyani Bersedia Gunakan APBN untuk Tingkatkan Skill Youtuber RI
- Pernah Jadi Menkeu dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Marto Sampaikan Beberapa Cara Jaga Pertumbuhan Ekonomi
- IsDB Kepincut Ekonomi RI, Disebut Siap Gelontorkan Pembiayaan untuk Pembangunan
- Menkeu Sri Mulyani Ingatkan Pentingnya Ketahanan Ekonomi ASEAN untuk Cegah Dampak Negatif Perekonomian Global
Sementara itu, pada 2023 pemerintah kemungkinan akan menahan laju belanja negara untuk mengejar target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun khusus untuk sektor perbankan, meskipun masih terbilang sehat, Chatib Basri memandang kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 9 persen dapat berdampak terhadap bank-bank yang berukuran kecil.
“Mereka akan melihat masalah dari pengetatan likuiditas, lalu mereka akan mulai meningkatkan suku bunga sehingga terjadi perang harga antar bank yang berpotensi berujung pada ketidakstabilan yang perlu diantisipasi,” katanya.