Lonteku di Batavia
JAKARTA - Prostitusi adalah bisnis paling tua di dunia, bahkan jika dibandingkan dengan usia Republik Indonesia yang merdeka di tahun 1945. Sejak awal penjajahan Belanda, prostitusi adalah wujud hiburan paling populer. Pun dengan kontroversinya. Meski begitu prostitusi sangat privasi. Oleh orang Belanda, kehadiran pekerja seks atau lonte bahkan digambarkan sebagai hal jahat yang diperlukan. "Lonteku, kejahatan yang diperlukan."
Pada awal kongsi dagang Belanda VOC menaklukkan Jayakarta dan membangun Batavia pada 1619, kekurangan wanita Eropa menjadi masalah. Keengganan pimpinan pusat VOC, Heeren Zeventien jadi penyebabnya. Bagi Heeren Zeventien, perjalanan jauh yang penuh risiko ke Nusantara membuat mereka melarang pengiriman wanita, kecuali bagi para pegawai tinggi VOC. Para petinggi itu diizinkan membawa istri dan anak-anak mereka ke Tanah Koloni.
Namun, Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen tak menerima alasan tersebut. Coen yang dikenal sebagai penganut calvinisme fanatik menginginkan Heeren Zeventien segara mengirim wanita baik-baik ke Batavia. Dalam suratnya, dengan tegas Coen menulis semua orang tahu kalau manusia tak bisa hidup tanpa perempuan baik-baik jikalau ingin menciptakan masyarakat koloni yang lebih beradab.
“Yang Mulia, jika Anda tidak bisa mengirimkan perempuan baik-baik yang sudah pernah menikah, mohon kirimkan para perempuan muda, dan kami berharap hal itu akan menjadi lebih baik daripada pengalaman kami berkencan dengan perempuan yang lebih tua,” tulis Coen dalam salah satu suratnya dikutip Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Namun, hal yang diinginkan oleh Coen tak direalisasikan secara sempurna oleh Heeren Zeventien. Akibatnya, Batavia menjadi daerah dengan banyak lelaki dan hanya sedikit wanita Eropa. Orang-orang Belanda di Eropa mulai putar otak dan mencoba ragam siasat agar libido tersalurkan.
Pertama, bagi mereka yang memiliki banyak uang, mudah saja mendatangkan istri maupun kekasih dari Belanda. Kedua, jikalau uang yang terkumpul masih sedikit, maka mereka akan mengambil wanita pribumi sebagai gundik menjadi opsi. Ketiga, bagi mereka yang memiliki uang dan malas mengambil gundik, maka rumah bordil adalah pilihan yang tepat.
Tujuh tahun setelah setelah Batavia berdiri --tepatnya pada 1625-- rumah-rumah bordil tumbuh subur. Dikutip sejarawan Belanda, Leonard Blusse, penyebab tumbuh suburnya pelacuran tak lain karena Kota Batavia menjadi tempat “rendezvous” (kencan) pelaut-pelaut mancanegara.
“Sehingga rumah-rumah pelacuran tumbuh subur di Batavia yang terletak di depan benteng di kawasan Pasar Ikan,” ungkap Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (1988).
Rumah bordil populer
Mereka yang bekerja sebagai pekerja seks pun banyak dikategorikan sebagai pelacur jalanan. Ada pula bentuk pelacuran yang terselubung dalam bentuk pergundikan dan penggadaian diri. Atas kombinasi pergundikan dan penggadaian, para pekerja seks di Batavia berjumpa dengan para mak comblang atau pemilik pelacuran yang umumnya bernama “mamie”.
Karena itu, pada awal Belanda di Batavia, justru orang Eropa lah yang banyak membuka rumah bordil. Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012) mengungkap rumah pelacuran yang terkenal ketika itu seperti losmen “de berebijt” (gigitan beruang) milik Hubert Yselstein. Kepopuleran itu didapat karena rumah pelacuran milik Hubert adalah yang paling sering tercatat di arsip pengadilan setempat.
“Losmen itu terletak agak jauh dari tembok kota, di Jalan Jaccatra (sekarang Jalan Jakarta) dan tidak hanya terkenal sebagai tempat pelacuran, tetapi juga sebagai ajang perkelahian, arena main anggar, serta sebagai arah jambak-jambakan rambut,” tulis Hendrik E. Niemeijer.
Tak hanya Hubert, warga Eropa lainnya, Andries turut membuka rumah pelacuran di Batavia. Tak main-main, pengadilan setempat menuduh Andries sebagai germo dari para pekerja seks berkulit hitam di rumahnya. Dalam laporan pengadilan, para pekerja seks itu dididik hingga mahir dalam melayani tamu-tamunya yang rata-rata dari para serdadu dan kelasi oleh Andries.
Meski begitu, rumah pelacuran bukan cuma bisnis milik warga Eropa saja. Perempuan Asia bernama Sara van Lamay juga tertarik dengan bulir-bulir keuntungan dari bisnis pelacuran. Sara yang tinggal di luar benteng Batavia diketahui mengelolah sebuah rumah pelacuran. Bisnis Sara cukup sukses. Lantaran Sara tak hanya menjajahkan gadis Asia tapi juga menghadirkan perempuan Belanda. Salah satu di antaranya adalah Lysbeth Jansz, asal Rotterdam. Ia sudah amat dikenal oleh pihak pengadilan.
“Pada 1692 ia ditangkap ketika sedang bercengkerama dengan tiga kelasi mabuk. Ia (Lysbeth) dibuang bertahun-tahun di Tanjung Harapan (Afrika Selatan), dan disekap tujuh tahun di penjaran perempuan di Batavia. Namun, ia tetap tertarik pada kota Batavia. Begitu dibebaskan, Ia langsung kembali ke jalur hidupnya semula. Kelakukannya yang tidak senonoh dianggap mencoreng nama baik bangsa Belanda,” tambah Sejarawan kesohor asal Belanda, Hendrik E. Niemeijer.
Sementara itu, adapula tempat konsentrasi pelacuran pertama di Batavia untuk kelas atas. Kawasan tersebut bernama Macao Po. Tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab membenarkan hal itu. Dirinya menyebut Macao Po merupakan rumah pelacuran yang terdiri dari rumah-rumah tingkat yang dulu beralamat di depan Stasiun Jakarta Kota.
Baca juga:
“Disebut demikian, karena para WTS-nya didatangkan dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan China untuk menghibur warga Belanda di Binnestadt (sekitar Kota Inten di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang). Pada abad ke-17 itu para taipan atau orang berduit keturunan China juga mencari hiburan di Macao Po,” cerita Alwi Shahab dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).
Pelacuran kelas rendah pun bahkan berlokasi tak jauh dari Macao Po. Di sebelah timur rumah bordil elite itu, Jalan Jayakarta sekarang, terdapat pelacuran kelas rendah yang dikenal dengan nama Gang Mangga. Tak heran kalau sakit sipilis zaman itu disebut dengan istilah: sakit mangga.
“Sampai 1960-an, orang Jakarta menyebut sipilis sebagai ‘sakit raja singa.’ Sudah pasti kala itu belum dikenal istilah HIV/AIDS. Komplek pelacuran Gang Mangga kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan orang China yang disebut soehian. Kompleks pelacuran macam ini kemudian menyebar di seluruh Betawi,” tutup Alwi Shahab.