Kapitan Sepanjang Memimpin 400 Pasukan dalam Pemberontakan Tionghoa terhadap Belanda

JAKARTA - Tahun 1740 jadi periode yang mengerikan bagi Etnis Tionghoa di Hindia Belanda. Di tahun itu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melakukan politik pengurangan jumlah etnis Tionghoa yang berujung pertumpahan darah. Pemberontakan etnis Tionghoa pecah. Kapitan Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang muncul sebagai pemimpin pemberontakan.

Sejak 1619, saat Kota Batavia didirikan, penduduk Batavia sangat beragam. Dari orang Eropa, Tionghoa, pribumi, hingga orang Jepang. Tionghoa salah satu yang terbanyak. Sulit mengetahui jumlah spesifik mereka di masa itu. Yang jelas, di tahun 1739, satu tahun sebelum tragedi Geger Pacinan, jumlah etnis Tionghoa terhitung mencapai 4.389, terdiri dari pria dan wanita. Dewasa ataupun anak-anak.

Di tahun 1740, jumlah itu melonjak hingga 10.574 orang. Dikutip Leo Suryadinata dalam Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia, lonjakan itu membuat pemerintahan Hindia Belanda menerapkan pengaturan ketat lewat berbagai sistem.

Misalnya, sistem opsir yang digunakan untuk mengawasi jumlah penduduk Tionghoa. Dari sistem itu, terbentuklah kelompok masyarakat yang disebut Kapitan Cina. Kapitan Cina adalah orang Tionghoa yang diberi jabatan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur urusan orang Tionghoa berdasarkan hukum adat. Kapitan Cina juga mengurusi segala keperluan administrasi penduduk dan penarikan pajak bagi pemerintah.

Yang kedua adalah sistem permukiman. Orang Tionghoa harus tinggal di wilayah tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah. Kehidupan mereka di wilayah itu juga diawasi oleh Kapitan Cina. Orang-orang Tionghoa itu dilarang tinggal bercampur dengan pribumi. Pemisahan penduduk semakin diperparah dengan adanya sistem status, yakni penduduk Kota Batavia dibagi berdasarkan agama mereka.

Awal tahun 1740, orang Tionghoa di Batavia makin diperlakukan diskriminatif. Mereka yang ingin memasuki Batavia harus memiliki izin berupa kartu tanda masuk (pennissiebriefte), Seringkali orang-orang Tionghoa yang tertangkap ditahan karena tidak memiliki izin masuk. Selain itu banyak dari mereka yang disiksa dan dirampas barang bawaannya oleh pejabat Hindia-Belanda. Biasanya, mereka baru dilepas ketika sudah membayar denda.

Etnis Tionghoa (Sumber: Commons Wikimedia)

Sikap diskriminatif itu terus terjadi dan membakar perlahan bara dendam terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan orang Tionghoa, sedikit demi sedikit terbangun. Untuk mencegah meluasnya perlawanan, maka pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi yang berlaku merata bagi semua orang Tionghoa.

Isi resolusi adalah perintah tangkap terhadap setiap penduduk Tionghoa yang dicurigai akan melawan. Mereka juga dikirim ke Ceylon untuk bekerja di perkebunan milik VOC. Reaksi penduduk Tionghoa semakin keras lantaran ada isu bahwa tahanan yang akan dikirim ke Ceylon biasanya akan dibuang di tengah laut.

Gejolak diperparah dengan semakin banyaknya pengangguran. Tindak kriminal merajalela akibat banyaknya orang Tionghoa --yang dulunya biasa bekerja di pabrik gula-- harus kehilangan pekerjaan karena tutupnya pabrik gula. Kala itu, Hinda Belanda mengalami penurunan permintaan gula untuk ekspor Eropa.

Berbagai faktor di atas memicu kebencian warga Tionghoa terhadap pemerintah. Hal itu jugalah yang mendasari pecahnya peristiwa Geger Pacinan pada 9 Oktober 1740. Dikutip Johannes Theodorus Vermeulen dalam Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740, pemberontakan dan protes warga Tionghoa dibalas pemerintah Hindia Belanda dengan membantai mereka dan membakar rumahnya.

Komando Kapitan Khe Panjang

Perlawanan orang Tionghoa di Batavia ini dipimpin oleh Oey Panko yang lebih dikenal dengan Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang. Dalam runutan literasi sejarah, Kapitan Khe Panjang bagai muncul tiba-tiba. Begitu sedikit informasi soal latar belakangnya yang dapat digali. Sejarawan, Ravando Lie mengamini.

"Kapitan Sepanjang ini memang unik dan butuh penelusuran lebih jauh lagi, terutama dari arsip-arsip VOC. Latar belakang Kapitan Sepanjang ini sepertinya belum banyak dikulik. Buku-buku yang mengulas Geger Pacinan pun sepertinya tidak memberikan porsi untuk background beliau. Bisa jadi karena memang kekurangan sumber," kata pria yang kini menjadi kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, kepada VOI, Selasa, 12 November.

Meski tak ada kejelasan yang terang mengenai latar belakang Kapitan Sepanjang, namun perlawanannya dalam huru-hara yang menewaskan sepulub ribu Tionghoa itu tidak bisa diremehkan. Akibat dipukul mundur, Kapitan Sepanjang dan pasukannya melarikan diri ke Bekasi untuk menggalang kekuatan.

Pengejaran terhadap Kapitan Sepanjang yang terus melawan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung sampai tahun berikutnya. Juni 1741, tentara VOC yang terdiri dari 150 orang tentara Eropa, 250 tentara Pribumi, dan seratus angkatan laut diberangkatkan menuju Bekasi guna menyerang pertahanan orang Tionghoa yang dianggap memberontak tadi.

Selama dua minggu, pengejaran Kapitan Sepanjang menewaskan banyak penduduk Bekasi. Tempat bekas penginapan Kapitan Sepanjang dan pasukannya dibumihanguskan. Namun Kapitan Sepanjang dan empat ratus pasukannya berhasil lolos dari sergapan tersebut dengan melarikan diri ke arah Gunung Priangan.

Patung Kapitan Sepanjang (Sumber/Ilustrasi: Commons Wikimedia/Raga Granada)

Johannes Theodorus Vermeulen, dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740, mengisahkan bagaimana Kapitan Sepanjang terus menyemangati pasukannya walau Belanda terus mendesak. Bahkan, jika ada salah satu pasukan yang kendur semangat atau berniat menyerah dari perlawanan akan dihukum pancung.

Pergerakan selanjutnya, Kapitan Sepanjang berkoalisi dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Garendi --kelak menjadi raja bergelar Sunan Kuning atau Amangkurat V, serta Patih Notokusumo untuk mengobarkan perlawanan terhadap VOC di wilayah Mataram.

Persatuan pasukan ini menjadi ancaman kekuatan yang mengerikan bagi VOC, bahkan dianggap sebagai potret keberagaman. Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abu Bakar mengatakan potret keberagaman ini merupakan langkah solidaritas yang tinggi antara etnis Jawa dan Tionghoa.

"Sungguh luar biasa, pemahaman kolektif kita, ketinggalan serba jauh dari para leluhur kita tempo dulu. Bahkan perangnya dikatakan sebagai perang jihad, justru dikomandani oleh Kapitan Sepanjang yang bukan Muslim," kata Azmi. 

Persatuan kekuatan dua etnis ini mengobarkan perang hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akibatnya, Kota Jepara, Kudus, Rembang, Demak, berhasil direbut oleh Laskar Tionghoa dan Prajurit Jawa. Bahkan Kapitan Sepanjang memimpin pasukan Tionghoa dan Jawa menyerang Keraton Mataram di Surakarta dan berhasil merebut Keraton Kartasura yang memaksa Sunan Pakubuwono II lari meninggalkan istana ke wilayah Magetan.

Sebenarnya awalnya Sunan Pakubuwono II memihak kepada Kapitan Sepanjang dan Laskar Tionghoa, namun ia berbalik mendukung VOC pada tahun 1742, sehingga menimbulkan kekecewaan baik dari Laskar Tionghoa maupun para patih dan bupati yang di bawah kekuasaan Sunan. Mereka mengabaikan perintah dan lebih memilih melawan VOC bersama Kapitan Sepanjang.

Raden Mas Garendi dinobatkan sebagai pengganti Sunan Pakubuwono II dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Dikutip dari buku Geger Pecinan karya Daradjadi, Raden Mas Garendi juga dijuluki Sunan Kuning, hal ini diartikan karena ia adalah raja yang memiliki pasukan berkulit kuning saat melawan VOC.

Sementara, Kapitan Sepanjang dipercaya menjadi guru untuk panglima perang oleh Sunan Kuning. Tapi Sunan Amangkurat V ini kekuasaannya tidak bertahan lama. Pada akhir tahun 1742, tentara VOC bersama pasukan Bupati Madura Cakraningrat berhasil merebut kembali Keraton Kartasura.

Kalah dalam penggempuran itu akhirnya Sunan Amangkurat V mundur ke arah timur bersama dengan Kapitan Sepanjang dan Laskar Tionghoa. Mereka kembali meneruskan perlawanan dan bertempur, sayangnya Amangkurat V dan Kapitan Sepanjang terpisah karena Amangkurat V tertangkap di Surabaya pada Desember 1743 dan dibuang ke Sri Lanka.

Sedangkan Kapitan Sepanjang selanjutnya tetap melakukan perlawanan terhadap VOC lalu lari menyebrang ke arah Bali dan mengabdi di sebuah kerajaan di Bali, sejak saat itu namanya tak pernah terdengar lagi, tak ada catatan sejarah tentang pergerakannya di Bali. Kiprahnya dan Laskar Tionghoa yang bertempur sepanjang hidup, ikut terkubur.