Khilafatul Muslimin Jadi Bukti Program Deradikalisasi Belum Berhasil

JAKARTA – Organisasi massa bernama Khilafatul Muslimin sedang menjadi berita di Indonesia pekan ini. Organisasi ini jelas-jelas menyerukan khilafah, sebuah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Toh kegiatan mereka tetap berjalan. Ini adalah salah satu bukti bahwa program deradikalisasi belum berhasil.

Diawali dengan konvoi yang mengusung tema “Kebangkitan Khilafah” di kawasan Cawang, Jakarta Timur pada Minggu pagi 29 Mei 2022. Serombongan pengendara sepeda motor berseragam hijau melintas. Beriringan hingga puluhan sepeda motor, sembari membawa bendera hijau berukuran besar dengan tulisan Arab di dalamnya.

Selain bendera besar dengan tulisan Arab, puluhan sepeda motor itu juga membawa poster-poster dengan berbagai tulisan. Rata-rata poster tersebut membawa pesan soal khilafah, antara lain: “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘Ala Minjahin Nubuwwah”, “Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah”, dan “Khilafah Itu Ibadah Khilafah Itu Miliknya Umat Islam”.

Jelas aksi konvoi tersebut membuat geger. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) segera angkat bicara. Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa aksi yang dipertontonkan Khilafatul Muslimin itu berbahaya bagi Indonesia yang berasaskan Pancasila.

Aksi konvoi Khalifatul Muslimin di kawasan Cawang, Jakarta Timur ada 29 Mei 2022. (Twitter)

“Aspek ideologi sangat berbahaya dengan memiliki cita ideologi khilafah di Indonesia, sebagaimana HTI, JI, JAD, maupun jaringan teroris lainnya,” kata Nurwahid kepada VOI, 31 Mei lalu.

Kapolda Metro Jaya, Irjen. Fadil Imran langsung membentuk tim untuk menyelidiki ormas Khilafatul Muslimin, yang memviralkan aksi konvoi “dukung khilafah” mereka.

“Yang jelas Polda Metro sesuai perintah Bapak Kapolda, kami sudah membentuk tim dan juga sudah bergerak di lapangan melakukan penyelidikan,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan pada 2 Juni.

“Kegiatan seperti ini bertentangan dengan ketentuan hukum di negara kita dan Polda Metro Jaya akan menindak secara tegas,” kata Zulpan lagi.

Selebaran yang dibagikan Khilafatul Muslimin dalam konvoi disebut mengandung berita bohong, yang berpotensi tinggi menyebabkan keonaran. Bahkan dapat memicu gerakan makar.

“Diketahui bahwa konvoi tersebut membagikan brosur atau selebaran tentang ajakan kepada umat Islam khususnya di Kabupaten Brebes untuk mengukuti ideology khilafah,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo dalam jumpa pers 8 Juni.

Agenda Rutin Sejak 2018

Ternyata konvoi bukan sekali itu saja dilakukan ormas Khilafatul Muslimin. Aksi konvoi yang oleh kelompok itu disebut sebagai motor syiar, sudah dilakukan secara berkala sejak 2018. Secara terjadwal, Khilafatul Muslimin menggelar konvoi sepeda motor setiap empat bulan sekali.

“Kegiatan rutin empat bulanan. Ini mulainya 2017 atau 2018 awal. Karena pada tahun 2018 itu kami mengadakan acara kekhilafahan Islam sedunia di Jakarta. Dipusatkan di Jakarta waktu itu kegiatannya,” ujar Amir Khilafatul Muslimin Wilayah Jakarta Raya, Muhammad Abudan kepada VOI, 31 Mei.

“Nah, dalam rangka acara itu, pra-eventnya ada kegiatan diskusi, ada kegiatan motor syiar. Kalau yang dulu dilakukan untuk publikasi kegiatan besar. Kalau sekarang tidak ada kegiatan besar pun tetap ada kegiatan motor syiar,” kata Muhammad Abudan lagi.

Saah satu kegiatan konvoi atau pawai yang dilakukan organisasi Khilafatul Muslimin. (islami.co)

Kegiatan motor syiar tidak hanya dilakukan di Jakarta, namun di banyak daerah di Indonesia. Motor syiar juga dilakukan di Karawang dan Bekasi (Jabar), Jepara (Jateng), Brebes (Jateng), Surabaya (Jatim), Bandar Lampung (Lampung), Lubuk Linggau (Sumsel), Medan (Sumut), Aceh, hingga Dompu di Pulau Sumbawa (NTB).

Kegiatan motor syiar Khilafatul Muslimin di Jepara sebenarnya mendapatkan penolakan dari Kapolres Jepara, namun aksi tersebut tetap dijalankan. Menurut Abudan, kegiatan bermotor sembari menyiarkan seruan khilafah terus dilakukan karena itu adalah bagian dari ibadah.

Penangkapan Abdul Qadir Baraja

Klimaks dari aktivitas syiar kekhilafahan yang dilakukan Khilafatul Muslimin adalah penangkapan terhadap pemimpin mereka, Abdul Qadir Baraja. Pria berusia 77 tahun asal Taliwang, Sumbawa Barat ini ditangkap di Bandar Lampung pada Selasa pagi 7 Juni. Selain Abdul Qadir Baraja, penangkapan juga dilakukan terhadap tiga anggota Khalifatul Muslimin lainnya.

“Ya benar, Aldul Qadir Baraja ditangkap,” ujar Kombes Zulpan, mengiyakan soal penangkapan pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin itu.

“Polda Metro Jaya dibackup Barekrim dan Polda Lampung saat ini mendalami beberapa orang,” kata Irjen Dedi Prasetyo, pada 7 Juni.

Abdul Qadir Baraja sudah malang melintang dalam dunia terorisme di Indonesia. Dia pernah terkait dengan aksi Teror Warman pada 1979. Salah satu aksi Teror Warman yang terkenal yaitu pembunuhan Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), DR. Parmanto M.A.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan. (VOI)

Pembunuhan Parmanto dilatari paparan Sang Rektor kepada aparat keamanan soal jaringan Darul Islam atau Jamaah Islamiyah. Paparan ini berujung pada penangkapan dua tokoh militan yang selalu dikaitkan dengan organisasi Jamaah Islamiyah (JI), Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada 1983. Atas keterlibatan dalam Teror Warman, Abdul Qadir dipenjara selama 3 tahun.

Selepas dari penjara, Abdul Qadir kembali terlibat aksi teror. Kali ini dia berada di dalam aksi pemboman Candi Borobudur pada 21 Januari 1985 dan bus Pemudi Express di Banyuwangi, Jatim pada 16 Maret di tahun yang sama. Atas keterlibatannya tersebut, Abdul Qadir dibui di Penjara Lowokwaru, Malang selama 13 tahun.

Disebutkan pula bahwa Abdul Qadir Baraja adalah pemimpin Komando Jihad, yang pada 1980-an merupakan musuh utama Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Menurut Ahmad Nurwakhid, Abdul Qadir merupakan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) yang juga salah satu pendiri Pondok Pesantren Al-Mu’min di Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jateng.

Khilafatul Muslimin Versi Sang Pemimpin

Dalam sebuah wawancara yang dimuat Majalah Gatra pada 16 Oktober 2019, Abdul Qadir Baraja yang juga pernah memakai nama Albulkadir Al-Habsyi mengatakan bahwa dia sudah berbeda. Perjuangan lewat Khilafatul Muslimin dia katakan sangat jauh dari konsep kekerasan.

“Dahulu saya pemberontak, perjuangan dengan kekerasan kebrutalan itu, kerjaan saya zaman dahulu, waktu muda saya sudah lalui semua itu. Saya sudah tahu dan menyesali itu semua, itu ujung-ujungnya adalah dosa,” kata Abdul Qodir berkisah.

“Komando Jihad itu juga saya yang pimpin. Ya orangnya orang NII juga, tapi yang beri nama Komando Jihad itu bukan kami. Itu pemerintah yang sebut kami Komando Jihad,” imbuhnya.

Merasakan penjara selama hampir 20 tahun, Abdul Qadir mengatakan dirinya merasa bersyukur. Belasan tahun dia merenung, hingga menyadari bahwa perlawanan lewat jalan kekerasan adalah sebuah kesalahan.

“Saya bersyukur saat di penjara, saya merenung dengan kekeliruan saya. Saat masih di dalam penjara pada 1997, saya mengumumkan berdirinya Khalifah Khilafatul Muslimin,” ujar Abdul Qadir.

Menurutnya, Khalifah Khilafatul Muslimin bukan sebuah ideologi, melainkan perjuangan membumikan Khilafatul untuk memakmurkan bumi dan kesejahteraan umat manusia melalui ajaran Allah dan rasulNya. Sejalan dengan kebebasan penerapan ajaran semua agama, tanpa memperkenankan warganya membuat aturan yang bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri.

Abu Bakar Ba'asyir, tetap menolak ideologi Pancasila meskipun sudah dibebaskan dari penjara. (Antara/Yullus Satria Wjaya)

“Banyak yang salah paham. Khilafatul bukan ideologi, tapi itu cara hidup. Jadi sebenarnya tidak hanya orang Muslim yang bisa bergabung dengan Khilafatul, semua agama boleh,” kata Abdul Qadir Baraja menambahkan penjelasan.

Dia berusaha meyakinkan bahwa warga Khilafatul Muslimin sangat cinta damai dan antikekerasan. Abdul Qadir mengatakan bahwa warganya sudah tersebar di seantero Indonesia, bahkan luar negeri.

Abdul Qadir dalam wawancara tersebut juga dengan bangga mengatakan bahwa kantor Khalifatul Muslimin di Bandar Lampung tidak ditutup pemerintah, meskipun jelas-jelas terpampang kata Khilafah.

Setelah Abdul Qadir Baraja ditangkap, situs Khilafatul Muslimin tidak dapat diakses.

Menurut Irjen Dedi Prasetyo dalam jumpa pers 8 Juni, Abdul Qadir Baraja bakal dijerat dengan Pasal 14 dan/atau 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin itu tidak dijerat dengan UU Tindak Pidana Terorisme.

Keberhasilan Program Deradikalisasi Sulit Diukur

Mencuatnya berita soal organisasi Khilafatul Muslimin mengingatkan kembali ke program deradikalisasi yang digagas Pemerintah Indonesia pada 2002. Silang pendapat masih terus terjadi soal keberhasilan program tersebut.

BBC Indonesia pada 2018 menurunkan laporan dengan judul Serangan Bom Surabaya: Program Deradikalisasi Diniai Gagal, BNPT Tak Terima. Mengutip pendapat peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, ukuran keberhasilan atau kegagalan program deradikalisasi sulit ditentukan.

“Pertama, orang yang radikal kan harus diketahui tingkat radikalismenya. Setelah masuk program deradikalisasi, diintervensi, kita lihat ada hasilnya atau tidak. Nah, selama ini nggak pernah diukur orang yang dikasih deradikalisasi tingkat radikalismenya seperti apa. Nggak bisa dibandingin, sebelum diintervensi dan sesudah diintervensi. Nggak bisa diukur,” ujar Solahudin kepada BBC Indonesia.

Kelemahan kedua soal program deradikalisasi menurut Solahudin adalah, yang disasar justru orang yang sudah tidak bersentuhan dengan kekerasan. Orang yang punya komitmen untuk tidak melakukan aksi teror lagi. Sebaliknya, orang-orang yang masih punya komitmen terhadap aksi teror justru tidak disentuh.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebutkan bahwa paham khilafah tidak boleh dibawa ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. (Dok. Setwapres)

Abu Bakar Ba’asyir bisa menjadi contoh. Hingga dibebaskan murni dari penahanan di Penjara Gunung Sindur Bogor pada 8 Januari 2021, Ba’asyir tetah kekeuh tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia. Sosok yang sudah berusia 83 tahun tersebut hanya bersedia setia kepada Tuhan, Allah SWT, dan tidak akan mengakui atau patuh kepada ideologi lain.

Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris pernah menegaskan bahwa pelaksanaan program deradikalisasi memang tidak mudah. Apalagi jika melihat bahwa BNPT baru berdiri pada 2010.

“Jangan dibayangkan seperti kementerian yang seusia Indonesia, jadi kita bertahap. Kita butuh waktu, butuh proses, butuh pakar, butuh strategi. Ini orang-orang ideologinya sangat keras. Ada pendekatan kekeluargaan, pendekatan religi, pendekatan psikologi, pendekatan masyarakat, pendekatan sosial,” kata Irfan seperti dikutip BBC Indonesia.

Satu lagi kelemahan yang dimiliki Indonesia dalam soal penanganan radikalisme dan terorisme, kita tidak punya aturan hukum yang dapat menindak seseorang yang diduga sudah terpapar paham radikal. Aparat hanya bisa menindak organisasi atau pribadi yang sudah terbukti mendukung atau melakukan aksi teror.

Dalam kuliah umum virtual Lemhanas pada 9 Juli 2020, Wakil Presiden Ma’aruf Amin menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang beragama Islam tidak boleh membawa paham khilafah ke dalam kehidupan kebangsaan kita. Sebab hal itu adalah pelanggaran kesepakatan yang ada dalam wujud Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.