Uji Coba Klinis Johnson & Johnson Dihentikan, Bukti Pembuatan Vaksin COVID-19 Tak Bisa Diburu-buru

JAKARTA - Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS) Johnson & Johnson menghentikan uji klinis lanjutan vaksin COVID-19 lantaran menemukan gejala penyakit pada salah seorang relawannya. Sampai saat ini belum jelas penyakit apa yang dialami oleh relawan tersebut. Hal itu membuktikan pembuatan vaksin tak dapat diburu-buru.

"Mengikuti pedoman kami, penyakit peserta sedang ditinjau dan dievaluasi oleh Dewan Pemantau Keamanan Data (DSMB) serta dokter klinis dan keselamatan internal kami," seperti tertulis dalam surat pernyataan perusahaan tersebut. "Kejadian buruk --seperti penyakit atau kecelakaan-- bahkan yang serius, merupakan bagian yang sudah terduga dari setiap uji klinis, terutama studi besar."

Dikutip dari CNN, Selasa 13 Oktober, pihak perusahaan tidak mengatakan jenis penyakit apa yang tidak dapat dijelaskan itu. Uji coba dihentikan agar dokter dapat memeriksa apakah penyakit tersebut dapat dikaitkan dengan vaksin atau hanya kebetulan.

Dalam surat pertanyataannya, perusahaan tersebut menjelaskan bahwa perusahaannya telah menjalankan prosedur uji klinis dengan pedoman yang telah ditentukan sebelumnya. "Hal ini memastikan studi kami  dapat dihentikan sementara jika terjadi peristiwa serius yang tidak terduga yang mungkin terkait dengan vaksin atau obat penelitian dilaporkan," tertulis. 

Pihak Johnson & Johnson sendiri mengakui efek samping serius dalam uji klinis tak jarang terjadi. Dan hal itu mendorong agar uji coba yang melibatkan banyak orang terus ditingkatkan. 

"Lebih lanjut, karena banyak uji coba terkontrol plasebo. Tidak selalu jelas apakah peserta menerima pengobatan atau plasebo," kata pihak Johnson & Johnson.

Tak bisa instan

Penghentian sementara uji coba vaksin itu sayangnya, menurut Dokter dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Brown, Ashish Jha, tidak segera menjadi perhatian. Padahal itu merupakan bukti dalam pengerjaan vaksin, tidak dapat diburu-buru karena banyak hal yang akan terjadi selama percobaan.

"Hal seperti ini benar-benar telah diduga dan sebagai pengingat betapa konyolnya mencoba dan memenuhi garis waktu politik vaksin sebelum 3 November," kata Jha.

"Uji coba Johnson & Johnson adalah uji coba vaksin terbesar yang saya tahu, yaitu melibatkan 60.000 orang," kata Jha. "Dalam uji coba itu Anda akan menduga akan adanya beberapa jeda."

Vaksin dari Johnson & Johnson adalah ujicoba vaksin COVID-19 Fase 3 kedua yang dihentikan sementara di AS. Uji coba vaksin AstraZeneca ditunda bulan lalu karena terjadi komplikasi neurologis pada seorang sukarelawan di Inggris, lalu dilanjutkan kembali. Sedangkan di AS uji coba tetap dihentikan sementara di AS ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan AS melakukan penyelidikan.

"Kami ingin vaksin yang aman dan kami harus membiarkan prosesnya berjalan dan itu akan memakan waktu cukup lama," kata Jha. "Bagi saya, ini meyakinkan bahwa perusahaan bertindak secara bertanggung jawab dan melakukan jeda saat diperlukan."

Ujicoba Fase 3 Johnson & Johnson dimulai pada September. Vaksin ini salah satu dari enam vaksin COVID-19 yang sedang diuji di AS dan satu dari empat di tahap paling maju, Fase 3. Para pejabat federal mengatakan mereka berharap pengujian dapat diselesaikan sedikit lebih cepat daripada vaksin lain, termasuk yang dibuat oleh Moderna dan Pfizer.