Jan Pieterszoon Coen sebagai Peletak Dasar Kolonialisme Belanda di Indonesia

JAKARTA - Jan Pieterszoon Coen adalah salah satu nama yang paling kesohor dalam lembar sejarah penjajahan Belanda ke Indonesia. Pria yang menjabat Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629-- adalah sosok yang paling berhasil membawa VOC. Ia juga yang melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Coen adalah pahlawan bagi penerusnya. Euforia itu bahkan berlanjut sampai ratusan tahun setelah masa kejayaan Coen. Patung Coen di Batavia adalah salah satu bentuknya.

Pengaruh Coen dalam perkembangan VOC begitu besar. Berkat program politiknya yang terkenal, Diskursus mengenai Negara Hindia, Coen yang saat itu menjabat sebagai pemegang buku kepala dan direktur dagang di Banten, menempatkan Jayakarta dalam posisi penting bagi kesejahteraan Belanda. Coen muda, di usia 28 tahun langsung menitikberatkan pendapatnya terkait penaklukkan Hindia (Indonesia) pada dua argumen.

“Coen mendasarkan pendapatnya pada dua argumen. Pertama, bahwa perdagangan dengan Timur perlu untuk kesejahteraan Republik Belanda. Dan Kedua, bahwa orang Belanda punya hak legal untuk meneruskan perdangan ini dan bahkan memonopoli perdagangan di banyak tempat,” ungkap Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Program politik itu berhasil meyakinkan 17 direktur kongsi dagang Belanda VOC yang terkenal dengan sebutan Heeren Zeventien. Apalagi Coen dikenal menguasai perdagangan, bahkan sejak usia 13 tahun. Coen jadi satu-satunya orang yang menarik kesimpulan bahwa posisi Belanda yang berniaga dikawasan Hindia secara legal cukup kuat. Lewat kebijakannya, Pieterszoon Coen dianggap sebagai peletak dasar kolonialisme Belanda di Indonesia.

Jan Pieterszoon Coen (Sumber: Commons Wikimedia)

Akan tetapi, ia goyah secara politik. Beberapa hal yang jadi pertimbangan Coen tak lain adalah bahwa perdagangan rempah tidak akan pernah cukup menutup semua ongkos perjalanan. Kondisi itu diperparah oleh persaingan dagang kongsi dagang Inggris, East India Company (EIC). Oleh sebab itu, Coen menyarankan agar Heeren Zeventien memberi kuasa untuk mendirikan berbagai pemukiman Belanda untuk menjaga kepentingan VOC di Hindia.

“Dia mengembangkan program politiknya sebagai berikut: memastikan kepemilikan total atas beberapa wilayah, misalnya Pulau Bacan di Maluku, Ambon, dan Banda, dan pelabuhan berbenteng di Banten dan Jayakarta,” Bernard.

Lewat cara itu, kelompok orang-orang Belanda dapat mengembangkan dan mempemudah laju monopoli VOC di masing-masing wilayah. Lalu, budak-budak dari berbagai negara dan kawasan nusantara didatangkan. Dan kompeni tak perlu lagi bergantung pada kehendak raja-raja Nusantara.

Kelak, dengan melakukan invasi, kompeni menjadi sangat dihormati, hingga para pribumi begitu setia menaati kewajiban mereka dalam memonopoli sumber daya alam. Tepat setelah diangkat sebagai gubernur jenderal pada 1918, perlahan dan diam-diam Coen mulai merebut penaklukan atas Jayakarta. Hal itu berbuah pada 1619. Itulah tonggak awal kekuasaan Belanda di Nusantara yang bertahan hingga ratusan tahun ke depan.

Patung Jan Pieterszoon Coen

Walau Coen telah meninggal dunia di Batavia pada 21 September 1629, sosoknya masih sedemikian populer di Batavia sampai ratusan tahun lamanya. Hal itu dibuktikan dengan adanya hajatan besar berupa ulang tahun Kota Batavia ke-250, 29 Mei 1869.

Saat itu kompeni membuat hajatan besar yang diisi dengan pesta pora selama tiga hari. Menariknya, dalam suasana pesta, empunya hajatan juga meresmikan pembangunan patung perunggu Jan Pieterszoon Coen di muka Grote Huis atau Istana Putih di Weltevreden, sekarang dikenal Gedung AA Maramis di kawasan sekitar Lapangan Banteng.

Grote Huis (Sumber: Commons Wikimedia)

“Pesta pora itu berlangsung tiga hari, siang dan malam. Banyak barang keperluan khusus sengaja didatangkan dari Belanda. Sebagai penutup diadakan pesta dansa bertopeng (gekostumeerd). Ruangan di Gedung Harmonie dihiasai lampu khas Venesia, permadani Persia, mebel mewah dari Eropa, kain hiasan dinding, serta karangan bunga dan tanaman tropis. Di dalam, disiapkan 40 meja, masing-masing untuk 12 orang,” ungkap Zaenudin HM, dalam buku Kisah-kisah Edan Seputar DJakarta Tempo Doeloe (2016).

Patung setinggi 4,10 meter baru selesai dibangun pada 1876 dan langsung menjelma jadi ikon Batavia. Pemerintah kolonial yang membangun patung sungguh yakin kehadiran ikon baru tersebut akan membuat orang-orang Belanda terus mengingat kiprah dari pendiri Batavia, Coen. Dikutip Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007), supaya terlihat garang, pendirian patung dibuat meniru pose patung seorang Raja Swedia Gustav Adolf.

Patung Coen di Grote Huis (Sumber: Wikimedia commons)

“Dikatakan, bahwa patung itu sesungguhnya tiruan patung Raja Swedia Gustav Adolf yang berdiri di Universitas Upsala,” tulis Adolf yang merupakan salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta.

Kebanggaan akan berdirinya patung juga turut diungkap oleh serdadu Belanda, H.C.C Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004). Menurutnya, patung perunggu Coen merupakan monumen yang paling sering ia lihat selama berada di Batavia.

“Di depan istana ada patung Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia. Patung itu diresmikan pada saat perayaan ulang tahun Batavia ke-250. Sekarang menjadi lebih tahu apa yang akan saya katakan bila ditanya dimana tangsi Weltevreden tempat saya tinggal, yakni di belakang Jan Pieterszoon Coen,” pungkas Clockener.

Sayangnya, patung tersebut berdiri hanya 67 tahun. Munculnya Jepang sebagai penguasa baru menjadi alasannya. Jepang yang mulai menjajah Indonesia pada 1942, mulai melakukan kuasanya dalam menyingkirkan pelbagai hal yang berbau Belanda. Mulai dari penggunaan bahasa belanda, mengganti nama ruas jalan, mengganti nama Batavia menjadi Jacatra, dan membongkar sejumlah patung, termasuk Patung Coen.

>

Semua itu dilakukan Jepang untuk mengambil hati kaum bumiputra. Yang mana, kaum bumiputra sudah kepalang benci dijajah dan diperas oleh Belanda selama ratusan tahun. Maka saat Jepang masuk, orang-orang Belanda di Indonesia malah menempati strata terendah dalam masyarakat.

“Tindakan yang pertama-tama yang dilakukan Jepang antara lain ialah penurunan patung Jan Pieterszoon Coen. Jan Pieterszoon Coen merupakan lambang Kota Jakarta dan lambang kekuasaan kolonial, karena Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri kota Batavia,” tulis Sutoyo dkk dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978).