Andil Tinton Soeprapto dan Tommy Soeharto Kembangkan Sirkuit Sentul
JAKARTA - Upaya membangun lintasan balapan kelas dunia tidak mudah. Butuh usaha dan dana yang tak sedikit untuk merealisasikan mimpi Indonesia punya sirkuit internasional. Tokoh balapan tanah air, Tinton Soeprapto ikut merasakannya. Ia bersama putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra harus banting tulang supaya Sirkuit Sentul diakui dunia. Melobi Federasi Automobil Internasional (FIA) adalah yang tersulit. Namun, bukan Tinton namanya jika mudah menyerah.
Boleh jadi Sirkuit Ancol adalah lintasan balap kelas dunia pertama yang dimiliki Indonesia. Namun, kejayaannya tak bertahan lama. Pertengahan era 1980-an jadi masa sulit bagi Sirkuit Ancol. Pembangunan ibu kota jadi muaranya.
Pembangunan itu berimbas pada gelaran balapan mulai jarang. Sedang fasilitasnya mulai dimakan usia. Karenanya, keselamatan pebalap menjadi terancam. Kondisi itu membuat Ancol absen dalam menggelar balapan nasional atau internasional. Pebalap nasional Tinton Soeprapto pun putar otak. Ia tak mau dunia balap tanah air jadi mati suri.
Ia pun memiliki ide membangun kembali sirkuit internasional lainnya. Sirkuit Internasional Sentul, namanya. Ide pembangunan itu lansung mendapat dukungan dari rekannya sesama pebalap, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Ia memiliki keprihatinan yang sama dengan Tinton. Keduanya saling berdiskusi. Sebab, olahraga balap memiliki peminat yang besar ketika itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Keduanya yang berada di bawah bendera PT. Sarana Sirkuitindo Utama memperolah hibah tanah seluas kurang lebih 140 hektar di Citeureup, Bogor. Tanah itu dimanfaatkan untuk pembangunan sirkuit. Spesifikasi, desain, dan aspek keamanan mulai dipikirkan matang-matang.
“Dengan berfungsinya Sirkuit Sentul ini olah raga balapan diharapkan lebih semarak lagi. Apalagi dengan adanya tayangan RCTI di Minggu siang dari arena balap mobil Formula 1. Maka jika semua sesuai dengan rencana, bisa dipastikan Sentul bukan lagi tempat para pawang ‘membuang’ hujan seperti yang terdengar selama ini. Karena, di mana pun balap mobil Formula 1 diselenggarakan, penonton pasti ramai. Maka Sentul pun diharapkan kecipratan duit nanti,” tulis Widi Yarmanto dan Andi Reza Rohadian dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Sirkuit Sentul untuk Formula 1 (1992).
Nyatanya, menghadirkan lintasan balap kelas dunia tak mudah. Sirkuit Sentul harus mendapatkan pengakuan dari lembaga bagian dari FIA, Federation Internationale du Sport Automobile (FISA). Sebab, dari gambar rencana pembangunan sirkuit saja sudah ditolak mentah-mentah. Tinton dan Tommy bergerak cepat. Perbaikan desain pun dilakukan. Mulai dari letak tikungan tajam, jalan lurus, dan lainnya. Insinyur dari luar negeri turut dilibatkan.
Semua itu untuk mewujudkan mimpi Indonesia punya sirkuit berkelas dunia. Demi mendukung itu FISA meminta Indonesia untuk membangun fasilitas penunjang lainnya. Usaha itu buat Sirkuit Sentul akhirnya diakui dan rampung pada 1993. Alhasil, Sentul menjelma menjadi Sirkuit kebanggaan tanah air yang mampu menggelar balapan kelas dunia. GP500 (Kini: MotoGP), salah satunya.
“FISA memang teliti. Kelengkapan lainnya juga ikut diperiksa, seperti permukaan lintasan harus beraspal mantap. Artinya, tidak boleh ada kerikil yang melenting ke atas karena perputaran roda yang begitu cepat.”
“Persyaratan lainnya, Sirkuit Citeureup harus dilengkapi dengan sepuluh mobil ambulan dan dua helikopter, serta klinik darurat harus tersedia dokter umum, ahli bedah, dan ahli tulang. Akhirnya, setelah mengalami perubahan gambar di sana-sini, pada Desember1988 FISA secara resmi menyetujui desain Sirkuit Citeureup,” jelas A.R. Loebis dalam buku Tinton Soeprapto-Ananda Mikola: Dari Balap Ke Balap (1999).
Baca juga:
- Berakhirnya Kejayaan Sirkuit Internasional Pertama Indonesia, Sirkuit Ancol
- GP500 Indonesia 25 Tahun Lalu di Sirkuit Sentul Ditonton 400 Juta Orang di Seluruh Dunia
- Cerita di Balik Selebrasi Perban Biru Valentino Rossi dalam Gelaran MotoGP Sentul 1997
- Ada Peran Tommy Soeharto di Balik Gelaran MotoGP Pertama di Indonesia Pada 1996