JAKARTA - Jaya Antjol Circuit Djakarta adalah lintasan balap kelas dunia pertama milik Indonesia. Sirkuit legendaris itu banyak melahirkan pebalap Indonesia berbakat. Dari Hengky Irawan hingga Tinton Soeprapto. Pun gelaran balapan kelas nasional dan internasional sering dihadirkan. Namun, kejayaannya harus berakhir. Deru nafas pembangunan ibu kota jadi muaranya. Masifnya pembangunan itu membuat Sirkuit Ancol perlahan-lahan ditinggalkan. Sirkuit Sentul pun didaulat sebagai penggantinya.
Narasi Ancol sebagai taman hiburan terlengkap telah mengemuka sejak awal 1970-an. Kehadiran proyek Taman Impian Jaya Ancol jadi biangnya. Kawasan Ancol kemudian disulap bak Disneyland. Fasilitasnya lengkap. Segala hiburan pun ada. Lapangan golf, pasar seni, kasino, dan bioskop adalah beberapa di antaranya.
Keberhasilan itu memicu pembangunan lainnya. Ide menghadirkan gelaran balapan kelas nasional dan internasional pun mengemuka. Semua itu karena khalayak umum mulai keranjingan balap-balapan. Pemerintah DKI Jakarta pun segera mendengar aspirasi itu. Rencana pembangunan sirkuit digodok. Karenanya, Jaya Antjol Circuit Djakarta pun dibangun secara bertahap dan mendapatkan dukungan banyak pihak.
Sirkuit yang awalnya jalanan biasa langsung dikembangkan secara total pada 1970-an. Total terdapat 12 tikungan dengan panjang sirkuit mencapai 4,4 Km. Fasilitas lengkap paddock, pit, dan lainnya pun dipersiapkan. Kehadiran sirkuit itu nyatanya banyak menarik banyak orang untuk menyelenggarakan balapan berskala nasional dan internasional.
Bahkan lomba tiruan “Le Mans 24 Hours” sempat diadopsi di Sirkuit Ancol. Akan tetapi, lomba itu dimodifikasi menjadi “Lomba Ketahanan Mobil Enam Jam.” Tak hanya gelaran balapan saja yang dihadirkan. Sirkuit Ancol pun turut melahirkan banyak bintang balap nasional. Antara lain Hengky Irawan, Saksono, Karsono, dan Tinton Suprapto.
“Untuk proyek ini, peran Pertamina dan beberapa pengusaha besar yang bergerak dalam bidang otomotif, seperti Astra, cukup besar, baik dalam pembangunannya maupun setiap event balapan. Ikatan Mobil Indonesia (IMI) dan tokoh-tokoh kepolisian, seperti Soecipto Yudhodihardjo (Kepala Polri era akhir pemerintahan Presiden Soekarno), Hoegeng Imam Santoso, Sukahar, dan Widodo Budidharmo mempunyai peran yang cukup penting.”
“Pembangunan Sirkuit Balap Mobil sangat didukung tokoh-tokoh kepolisian itu maupun Ikatan Motor Indonesia (IMI), seperti Mukhtar Latif. Fenomena balapan liar di jalanan ibu kota, juga balapan resmi yang diselenggarakan tak semestinya, seperti di Bandar Udara Halim dan Parkir Timur Senayan, menjadi latar belakang pembangunan proyek wahana ini,” ungkap tokoh penting pembangunan Proyek Ancol, Seokardjo Hardjosoewirjo sebagaimana ditulis Sugianto Sastrosoemarto dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010).
Masalah Lahan
Kejayaan Sirkuit Ancol tak bertahan lama. Pertengahan era 1980-an jadi masa sulit bagi Sirkuit Ancol. Gelaran balapan mulai jarang. Menyempitnya arena sirkuit karena pembangunan dianggap sumber utama. Warga setempat mulai terganggu dengan deru mesin balap. Kondisi itu diperparah dengan absennya Ancol menggelar balapan nasional atau internasional.
Sebagai gantinya, putra bungsu Presiden Soeharto menggagas munculnya Sirkuit Internasional Sentul yang rampung pada 1993. Kehadiran sirkuit itu membawa berkah buat Indonesia. Sederet gelaran balap kelas dunia mulai mengaspal di Sentul. Balapan motor paling prestisius di dunia, GP500 (Kini: MotoGP), terutama.
“Olahraga otomotif di Indonesia memang pernah mengalami masa kejayaannya pada tahun 1970-an. Pebalap Tinton Suprapto, Benny Hidayat, Sarsito, Beng Siswanto malang melintang di beberapa kejuaraan internasional tingkat Asia. Sirkuit Ancol, yang didirikan pada tahun 1971, juga menjadi tempat penyelenggaraan Indonesian Grand Prix yang berlangsung hampir setiap tahun, yang diikuti banyak pebalap luar negeri.”
“Malah pada tahun 1976 pernah pula diselenggarakan balap mobil Formula yang pertama di Ancol walaupun terbatas pada Formula Il yang menggunakan mobil bermesin 1.600 cc. Kini kejayaan itu tampaknya akan dicoba direguk kembali lewat sirkuit baru ini (Sirkuit Sentul),” tutup Tri Budianto Soekarno dan Ahmed Kurnia Soeriawidjaja dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Formula 1 Masuk Citeureup (1988).