Memulai Tahun Ketiga Pandemi di Indonesia, Epidemiolog Sebut Pemerintah Tak Bisa Andalkan Vaksinasi Saja

JAKARTA - Dua tahun sejak temuan kasus COVID-19 pertama di Indonesia telah berlalu. Hari ini, pandemi di Tanah Air memasuki tahun ketiga.

Menurut epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, ancaman COVID-19 masih tetap ada hingga saat ini. Ke depan, varian baru virus corona pun masih akan bermunculan.

Karenanya, masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam menjalani pandemi. Meski saat ini sudah ada vaksinasi sebagai upaya perlindungan, namun pemerintah tak bisa hanya mengandalkan itu.

"Respons kita dalam menghadapi ancaman virus memang sudah diberi modal vaksinasi. Tapi, vaksinasi enggak bisa hanya jadi andalan. Harus ada tindakan adaptif untuk merespons situasi hidup dengan COVID-19," kata Dicky kepada VOI, Rabu, 2 Maret.

Tindakan adaptif yang dimaksud Dicky perlu dijalankan oleh pemeritah maupun masyarakat. Kepada masyarakat, Dicky mengimbau untuk lebih menjalankan pola hidup sehat.

Mengingat, berbagai penyakit termasuk COVID-19 mudah menyerang saat kondisi tubuh tak sehat dan imunitas melemah.

"Harus ada tidakan adaptif merespons situasi hidup dengan COVID, dalam artian hidup lebih sehat. Sanitasi hingga kualitas udara di lingkungan dan perkantoran perlu dijaga," ucap Dicky.

Kepada pemerintah, harus ada tindakan mitigasi yang dilakukan dari sekarang. Meski saat kasus COVID-19 melandai, hal ini tidak bisa dianggap remeh.

Pemerintah, menurut Dicky, perlu melakukan berbagai langkah mitigasi. Di antaranya adalah memperkuat kesetaraan akses layanan kesehatan masyarakat, khususnya kelompok rawan dan berisiko tinggi.

"Hal ini termasuk responsivitas dari kebijakan yang responsif, dalam hal ini sudah mengantisipasi dari jauh hari. Beda dengan reaktif, yang sudah ada kejadiannya, kebijakannya baru dibuat," urainya.

Kemudian, perlu adanya penguatan manajemen data. Manajemen data yang dimaksud mencakup sistem pelaporan temuan kasus COVID-19, baik infeksi, kesakitan, kematian.

"Kita sadari, kita dibanding negara lain, tak usah jauh-jauh, dengan Singapura, sistem manajemen data kita masih lemah," tutur Dicky.

Padahal, kata Dicky, data yang diolah secara matang dan tervalidasi akan menjadi dasar kuat untuk mengomunikasikan pada para pemimpin hingga masyarakat sehingga terbangun persepsi risiko.

"Pengambil kebijakan juga bisa mengambil dasar kebijakan yang kuat karena datanya kuat. Juga, kita akan bisa merujuk data ini untuk memprediksi dan mengadaptasi kondisi masa depan. Ini yang masih jadi tantangan," jelasnya.