JAKARTA - Hari ini, genap dua tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Pada 2 Maret 2020 lalu, kasus COVID-19 pertama kali tercatat, menandakan virus corona sudah masuk ke Tanah Air.
Berbagai tindakan penanggulangan pandemi telah dilakukan oleh pemerintah. Tapi, ada satu hal yang menjadi sorotan ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, yakni masalah penelusuran kasus atau tracing.
Dua tahun pandemi di Indonesia, menurut Dicky, upaya tracing kasus COVID-19 masih lemah. Artinya, masih banyak orang terpapar virus dari orang yang telah terinfeksi, namun tidak terdeteksi dan tercatat dalam pelaporan kasus.
Beberapa pemerintah daerah pun juga mengaku upaya tracing mereka masih belum memadai sampai saat ini.
"Kemampuan kita dalam menemukan kasus di masyarakat masih terbatas dan masih ada gap besar antara kasus yang ditemukan dan dilaporkan, dengan kasus yang terjadi di masyarakat," kata Dicky kepada VOI, Rabu, 2 Maret.
Padahal, pemerintah pusat telah memberi patokan kepada setiap daerah untuk melakukan tracing lebih dari 15 kontak erat per kasus konfirmasi.
Lalu, kontak erat yang teridentifikasi ini juga perlu melakukan karantina minimal selama 5 hari, disertai dengan tes COVID-19 selama masa karantina sebelum hasil tes keluar. Jika positif, maka kontak erat yang terkonfimasi tersebut harus melakukan isolasi.
Dicky menyatakan, lemahnya tracing dibuktikan dari kondisi kasus COVID-19 yang mayoritas terjadi lewat transmisi lokal, sejak awal pandemi hingga Maret 2022.
"Kita tahu, sejak April 2020 hingga Maret 2022, kita masih dalam level community transmission. Yang artinya gelombang epidemi atau pandeminya ini masih serius terjadi di masyarakat," ungkap Dicky.
BACA JUGA:
Meski demikian, Dicky menilai strategi pengetatan kegiatan masyarakat di Indonesia saat memasuki tahun ketiga pandemi ini mulai membaik. Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dianggap menjadi strategi yang paling tepat untuk mengendalikan COVID-19.
"Strategi mulai kelihatan meskipun learning by doing. Ternyata kita tahu bahwa PPKM lebih efektif karena sifatnya dari atas, banyak juga support, sehingga tidak ada gap atau disparitas kemampuan daerah, tidak jadi alat politik juga oleh beberapa daerah, meskipun strategi komunikasi risiko masih naik turun dan kebijakannya sering berubah dan mepet," imbuhnya.