JAKARTA - Koalisi LaporCovid-19 menganggap masih ada ketimpangan akses penelusuran kontak (tracing), pemeriksaan (testing) hingga perawatan kasus COVID-19 antara Ibu Kota dengan daerah lain seperti di desa dan pedalaman.
Co-Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif menyebut jumlah testing dan tracing di Indonesia tidak seimbang. Besarnya angka testing nasional pun dikontribusikan oleh Jakarta.
"Mayoritas tes PCR masih dilakukan di Jakarta. Sekitar 30 persen tes PCR nasional itu dilakukan di Jakarta. Jadi, ketika tes di Jakarta menurun maka secara nasional juga akan turun secara signifikan," kata Arif pada Rabu, 8 September.
Sementara, Arif menerima laporan bahwa testing dan tracing di luar Jakarta masih lemah. Semakin jauh ke pedalaman dan ke luar Jawa, ketimpangan ini semakin membesar.
"Banyak orang yang mengeluhkan bahwa mereka misalnya sudah melaporkan ada gejala COVID-19, tapi keluarganya tidak di-tracing, tidak dites. Lalu, masyarakat kesulitan mencari rumah sakit," tutur Arif.
BACA JUGA:
Arif mencontohkan, seorang warga Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan melaporkan pada 2 Agustus 2021. Dalam laporan tersebut, terdapat warga Desa Surya Adi, Kecamatan Mesuji yang banyak memiliki gejala COVID-19. Namun, sayangnya tak ada tracing, testing, hingga treatment dari Satgas COVID-19 setempat.
Lalu, seorang warga Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur melapor pada 11 Juli 2021 bahwa dirinya menjadi kontak erat dari adiknya yang positif COVID-19 berdasarkan hasil tes antigen. Sayangnya, pihak puskesmas tak melakukan tes PCR kepada mereka.
Minimnya testing dan tracing dari kasus COVID-19 di sejumlah daerah ini, menurut Arif, akan menimbulkan masalah karena data yang tercatat tak sesuai dengan kondisi lapangan. Akibatnya, strategi penanganan pandemi yang dibuat pemerintah menjadi tak efektif.
"Kita sangat bermasalah dengan data. Data ini bisa memengaruhi dua hal, yakni kebijakan yang kemudian bisa bermasalah dan juga persepsi risiko publik yang juga bermasalah," ungkapnya.