Bentakan Ibnu Sutowo di Hotel Hilton Dusseldorf, 14 Desember 1973: Kunci Utama Kepulangan B.J. Habibie ke Indonesia

JAKARTA- Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie adalah insinyur terkemuka asal tanah air. Ketekunannya dalam dunia kedirgantaraan dunia di Jerman mendapat banyak pujian. Berita itu sampai pada Soeharto. B.J. Habibie diminta mengembangkan industri kedirgantaraan Indonesia. Ia pun mengutus Ibnu Sutowo untuk membujuk Habibie supaya pulang kampung. Alih-alih membujuk, Ibnu Sutowo yang terkenal bernyali tinggi membentak Habibie. Suaranya keras. Bentakannya buat Habibie sadar Indonesia butuh ilmunya.

Karier profesional Habibie di industri kedirgantaraan mentereng. Ia mengawali karier sebagai asisten riset di Institut Konstruksi RIngan RWTH Aachen University. Kemudian, bekerja sebagai Wakil Presiden Direktur Teknologi dari Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB). Habibie pun dielu-elukan sebagai pakar pesawat kelas dunia. Daya tarik itu membuat Presiden Filipina, Ferdinand Marcos (1965-1986) kepincut.

Marcos pun bersiasat. Ia mengundang Habibie lewat bosnya, Ludwig Bolkow. Habibie pun diutus untuk berkunjung ke Istana Malacanang pada awal Januari 1974. Marcos tak malu-malu mengutarakan niat mengajak Habibie untuk membangun industri dirgantara Negeri Lumbung Padi. Sekalipun, semula Marcos sempat mengira Habibie adalah putra asli Filipina.

B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden saat menerima pelimpahan jabatan Presiden Indonesia dari Soeharto pada 21 Mei 1998. (Foto: Wikimedia Commons)

Meski begitu, Marcos tak mempersalahkannya status Keindonesiaan Habibie. Ia justru makin kepincut dengan menawarkan Habibie untuk segera pindah ke Manila. Ia berjanji akan menyanggupi seluruh fasilitas yang diinginkan oleh Habibie, termasuk memberi ruang bagi Habibie untuk membantu Indonesia dari Manila. Namun, permintaan itu ditolak Habibie.

“Marcos mungkin berpikir nama Habibie kedengarannya seperti nama dari penduduk Moro di Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Marcos ingin membuktikannya. Oleh karena itu, ia minta kepada Ludwig Bolkow supaya anak muda bernama Habibie itu datang menemuinya.”

“Bolkow kembali ke Jerman. Ia menugaskan Habibie ke Filipina untuk menemui Ferdinand Marcos, Presiden Filipina yang waktu itu sangat berkuasa dan kaya. Melalui sebuah rapat khusus pimpinan MBB, diputuskan Habibie berangkat segera ke Filipina dan membawa dua asisten, kedua asisten itu berbadan tinggi besar, berambut pirang, dan bermata biru,” tulis A. Makmur Makka dalam buku Inspirasi Habibie (2020).

Soeharto Utus Ibnu Sutowo

Boleh jadi Habibie menolak ajakan Marcos untuk bergabung mengembangkan dunia kedirgantaraan Filipina. Tapi Marcos tetap percaya diri jikalau Habibie suatu hari akan menerima tawarannya. Marcos merasa Habibie masih butuh menimbang kembali keputusannya.

Karenanya, dengan percaya dirinya Marcos menceritakan mimpinya membangun dunia kedirgantaraan Filipina kepada Presiden Soeharto. Perihal itu diceritakan Marcos tepat beberapa bulan setelah menerima penolakan Habibie. Soeharto skeptis. Ia mempertanyakan siapa nantinya yang menjadi sosok utama yang menggerakan industri dirgantara Filipina. Dengan santainya, Marcos berujar: Bacharuddin Jusuf Habibie.

Nama itu jelas bukan orang asing bagi Soeharto. Sebab, Soeharto dulunya pernah bertugas di Pare-Pare sebagai Komandan Brigade Garuda Mataram. Markas Soeharto kala itu dekat dengan rumah Habibie. Pun Soeharto dengan orang tua Habibie.

Kedekatan itu membuat Soeharto tak ingin anak yang dulu sering disapanya Rudi mengembangkan kedirgantaraan Filipina. Soeharto pun segera bersiasat. Ia memerintahan Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo.

Hotel Hilton Dusseldorf, Jerman, tempat pertemuan pertama Ibnu Sutowo dan B.J. Habibie pada 14 Desember 1943. (Foto: en.quierohotel.com)

Habibie sendiri belum mengenal Ibnu Sutowo. Kesibukannya bergelut sebagai pakar dirgantara membuat Habibie tak mengikuti perkembangan politik Indonesia. Undangan pun diberikan oleh Duta Besar RI untuk Jerman Barat, Achmad Tirtosudiro. Habibie pun menyanggupinya. Pertemuan antara Ibnu Sutowo dan Habibie terjadi di Hotel Hilton, Dusseldorf pada 14 Desember 1973.

Ibnu Sutowo yang kesohor bernyali tinggi langsung memaki-maki Habibie. Ia menyebut Habibie seharusnya malu sebagai bangsa Indonesia. Bentakan itu beralasan. Industri kedirgantaraan Indonesia saat itu belum berkembang. Tapi Habibie justru banyak menghabiskan waktu bekerja memajukan negeri orang.

Setelah membentak, Ibnu Sutowo lalu menjelaskan panjang lebar ihwal mimpi Indonesia membangun kedirgantaraan. Segala macam problema diungkap Ibnu Sutowo. Perdebatan kemudian menghiasi pertemuan itu.

Tujuannya tak lain supaya Indonesia makin bersinar di mata dunia. Pun hasil pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan. Habibie bersedia pulang ke Indonesia, demi menjaga asa Indonesia membangun industri kedirgantaraan.

Ibnu Sutowo, mantan Dirut Pertamina yang membawa pulang B.J. Habibie ke Indonesia. (Foto: Wikipedia)

“Begitu mereka bertemu pandang, Ibnu Sutowo tidak berekspresi seperti layaknya orang yang baru berkenalan, melainkan bersuara keras, bernada marah, dan langsung berkata: Saudara Rudy, Jij Moet Shaamen, Als Indonesier (Saudara Rudy, saudara harus malu pada diri sendiri sebagai bangsa Indonesia). Kenapa, Pak? Kenapa, Pak? Apa yang telah saya lakukan? tanya BJ Habibie herah. Di Indonesia orang sedang membangun, kamu kok di sini?”

“Dalam perjumpaan itu, Ibnu terlebih dahulu menggambarkan situasi di Tanah Air, tentang pembangunan yang sedang digalakkan, rencana-rencana yang akan dijalankan dan cita-cita rakyat Indonesia yang belum tercapai serta pesan Presiden Soeharto agar Habibie bersiap pulang,” tutup A. Makmur Makka dalam buku lainnya MR. Crack dari Pare-Pare (2018).