Terlahir Miskin Itu Privilese: Narasi Konyol Indra Kenz yang Seperti Tak Paham Masalah Kemiskinan Struktural
JAKARTA - Selebgram Indra Kesuma atau Indra Kenz semakin gencar menarasikan terlahir miskin itu privilese. Padahal hal tersebut sudah kacau sejak dari definisi privilese itu sendiri. Belum lagi soal kemiskinan struktural yang bersinggungan erat dengan privilese, yang mungkin luput dari pemahaman Indra.
Setelah pernyataannya viral sejak Jumat minggu lalu, Indra tak berhenti menyuarakan argumennya. Terbaru, lewat akun twitternya, ia mengatakan bakal merilis sebuah buku yang diberi judul persis dengan pernyataannya: Terlahir Miskin = Privilege.
Indra berargumen kalau terakhir miskin juga merupakan privilege karena mereka bisa merasakan berjuang sampai sukses. Berbeda dengan orang terlahir kaya, yang menurutnya justru tekanannya lebih besar ketimbang teralhir miskin.
"Sebenarnya lahir miskin itu juga privilege sih, bisa merasakan berjuang dan jadi sukses. Kalau lahir dari keluarga yang udah kaya, tekanan mental lebih besar. Kalau udah terlahir kaya enggak bisa jadi miskin, harus jadi lebih kaya lagi dan itu yang berat."
Tentang privilese
Pernyataan Indra Kenz sudah kacau sejak dari defisini privilese itu sendiri. Kalau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), privilese bermakna hak istimewa. Kalau masih mau dijabarkan lagi, KBBI menjelaskan "istemewa" adalah hal yang lain daripada yang lain, luar biasa, lebih-lebih. Lantas, di dunia yang materi dianggap sebagai mata uang sosial ini, apa yang luar biasa dari orang miskin?
Belum lagi soal jumlah. Sudah menjadi rahasia umum, kalau orang miskin jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang kaya. Bahkan kalau dilihat jarak ketimpangan si kaya dan si miskin, di Indonesia kekayaan empat orang terkayanya setara 100 juta penduduk.
Bentuk privilese memang bukan cuma soal materi. Hak istimewa juga bisa berupa relasi. Persoalan privilese seperti ini juga pernah ramai dibahas tatkala Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk tujuh orang milenial sebagai staf khusus presiden.
Warganet memperkarakan hak istimewa tujuh orang itu, yang menurut banyak orang jadi dasar penunjukan. Lainnya, membela. Menurut mereka memiliki kapabilitas yang patut dilihat. Kedua pendapat itu wajar. Ketujuhnya adalah orang-orang berpengaruh.
Putri Tanjung adalah CEO dan Founder Creativepreneur. Lainnya, Adamas Belva merupakan pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika (perumus Gerakan Sabang Merauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), Gracia Billy (pemuda asal Papua peraih beasiswa Oxford), Aminuddin Ma'ruf (mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Ilsam Indonesia (PMII). Selain itu, nama Andi Taufan juga disoroti sebagai pendiri lembaga keuangan Amartha.
Jika nyata atau tidaknya sebuah hal ditentukan oleh teori keilmuan, maka privilege adalah hal yang nyata. Sosiolog, Tantan Hermansyah menjelaskan sebuah teori yang menjelaskan privilege sebagai hasil interaksi antarsubjek (individu) yang kemudian memiliki fungsi-fungsi dalam hubungan antarsubjek tersebut.
"Contoh, dalam organisasi. Sekumpulan itu merupakan individu yang bersepakat. Ketika kesepakatan tersebut semakin besar, tampil lah apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Masyarakat itu pada praktiknya adalah kumpulan individu tersebut. Mereka diikat oleh aturan," kata Tantan dalam artikel VOI berjudul "Mahkota Abu-Abu Bernama Privilege".
Mengacu pada konsep kesepakatan, privilege sejatinya adalah konsep yang amat samar. Pembentukannya amat tergantung pada kesepakatan kelompok individu (masyarakat). Misalnya, sebuah organisasi mengkhususkan perempuan akan diantar pulang jika acara hingga larut malam. Hal tersebut jadi privilege dari perempuan. Privilege dalam bentuk perlindungan.
"Basis privilege bisa bermacam-macam, tergantung apa yang disepakati di dalam hubungan tersebut," tambah Tantan.
Contoh lain betapa relatifnya privilege dijelaskan Tantan dalam analogi lain. Tentang bagaimana seorang profesor yang amat dihormati di lingkungan akademis, misalnya. Ketika berbelanja di pasar, ia akan setara dengan seorang mahasiswa abadi sekalipun. Maka, eksistensi dari privilege amat bergantung pada kondisi dan situasi lingkungan.
Kemiskinan struktural
Konsep privilese erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan struktural. Sebab, suka tak suka, privilese bisa memberi jakar antarkelompok. Seperti yang telah kami tulis dalam artikel bertajuk "Redistribusi Kekayaan untuk Mengatasi Ketimpangan dalam Privilege Sosial," privilege sebagai fakta sosial sejatinya menyangkut dengan amanat Pancasila sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Guru Besar Sosiologi pertama di Indonesia, Selo Soemardjan seperti dikutip M. Alwi Dahlan dalam Pemerataan Informasi, Komunikasi Pembangunan (1997) menjelaskan kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyrakat karena struktur sosial masyarakatnya tak memberikan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Ini soal akses. Tentang hak yang seharusnya bisa diperoleh bagi setiap warga.
Sebagai contoh, seorang petani dapat miskin karena ulah tengkulak. Ini bisa terjadi misalnya karena untuk proses tanam petani pinjam modal ke rentenir, namun ketika panen harga ambles karena ada permainan harga dari tengkulak ditambah impor dari luar.
Pada masalah kemiskinan struktural ini banyak faktor-faktor yang membuat suatu golongan sulit untuk meningkatkan pendapatannya --kalau tak bisa disebut terjebak dalam kemiskinan. Itulah mengapa orang tak bisa tiba-tiba kaya hanya karena membanting tulang, dan orang juga tak tiba-tiba miskin hanya karena malas kerja.
Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, Budi Rajab dalam tulisannya yang bertajuk Kemiskinan Struktural dan Cara Penanggulangannya menjelaskan, bila dilihat dari pendekatan struktural, kemiskinan terjadi karena adanya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi seperti tanah, teknologi, dan bentuk kapital lainnya. Kata Budi, dalam proses relasi antar individu atau kelompok saat memanfaatkan sumber daya ekonomi memunculkan segelintir orang yang bisa memiliki dan menguasai sumber-sumber daya ekonomi yang disebut kaum elite.
"Kaum elit ini selanjutnya melakukan konsolidasi melalui lembaga-lembaga tertentu agar sumbersumber daya ekonomi yang dikuasai mereka tetap terjaga, malah dapat lebih diperbesar lagi. Di sinilah mulai muncul ketimpangan ekonomi yang dalam perjalanan waktu menjadi kian menajam," tulis Budi.
Menurut Budi, akses institusional yang dipakai kaum elite dalam rangka proses konsolidasi antara lain lewat pembentukan kelompok kepentingan atau asosiasi-asosiasi usaha tertentu, birokrasi pemerintahan, ikatan kekerabatan dan lainnya. "Karena itu, pada akhirnya ketimpangan itu tidak melulu ditandai dengan ketidakmerataan dalam pemilikan dan penguasaan hal-hal yang material, tetapi juga menunjuk pada adanya kesenjangan pada akses dan kontrol pada institusi-institusi sosial."
"Mungkin, dalam konteks keterkaitannya dengan institusi sosial inilah, dalam istilah ilmu sosial Indonesia kemiskinan yang demikian itu dikenal dengan istilah 'kemiskinan struktural.' Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak memberikan peluang dan kesempatan untuk bisa terlibat dalam menggunakan sumber-sumber daya ekonomi," jelas Budi.
*Baca Informasi lain tentang SOSIAL baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.