Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kemiskinan ekstrem menjadi salah satu fokus pemerintah pada tahun ini.

Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi mencapai lima persen akan beriringan dengan tingkat kesenjangan yang makin melebar.

Oleh karena itu, pemerintah akan menggunakan instrumen fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengatasi masalah tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kemiskinan ekstrem di Indonesia tidak bisa hilang sepenuhnya.

Sebab, kemiskinan di Indonesia tak hanya bersifat karena siklus ekonomi, tetapi juga ada kemiskinan yang sifatnya struktural.

"(Kemiskinan yang sifatnya siklus) ini, kan, salah satu tantangan karena efek dari pandemi, inflasi, kenaikan harga bahan makanan, kenaikan LPG nonsubsidi, kemudian kenaikan BBM 30 persen, tetapi juga ada kemiskinan yang sifatnya ekstrem atau struktural, kalau ini beda penanganannya," kata Bhima kepada wartawan di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Januari.

Seperti diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia naik 0,20 juta menjadi 26,36 juta orang per September 2022. Sedangkan, dari segi Garis Kemiskinan (GK), persentasenya naik 5,95 persen menjadi Rp535.547 per kapita tiap bulan.

Menurut BPS, ada empat faktor yang menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan di Indonesia, di antaranya penyesuaian harga BBM, kenaikan harga komoditas bahan pokok, tingginya angka penduduk kerja yang terdampak pandemi dan PHK, serta kondisi perekonomian pada triwulan III-2022.

Menurut Bhima, data yang disampaikan BPS masih belum lengkap, seperti yang digambarkan oleh Bank Dunia. Sementara, jika menggunakan data Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia akan jauh lebih banyak.

"Memang garis kemiskinan BPS sudah konsisten segitu, tetapi perlu juga dilengkapi dari garis kemiskinan lewat bank dunia, maka akan lebih banyak orang miskin di Indonesia, jangan hanya terpaku pada satu indikator," ujarnya.

Untuk mengentaskan kemiskinan struktural, kata Bhima, pemerintah harus fokus mengatasi masalah di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

"Perlindungan sosial itu di 2023 cuma 2,25 persen dari PDB, ini yang perlu didorong oleh pemerintah. Kemudian, bansos, bantuan subsidi upah, itu harus dinaikkan. Selain dari BSU itu, juga ada PKH, yang penting datanya tepat sasaran," pungkasnya.