Kejayaan Nusantara Berdagang Lada
JAKARTA - Berabad-abad lampau, rempah-rempah, terutama lada adalah komoditas yang paling dicari dunia. Lada berharga mahal: bisa membeli jabatan, hewan ternak, rumah, hingga wanita. Karenanya, lada jadi rebutan bangsa Eropa. Mereka sampai rela mempertaruhkan hidup hanya demi mencari lada. Penggembaraan itu berhasil. Nusantara muncul sebagai penghasil lada dunia. Lada pun jadi komoditas andalan Kerajaan Aceh dan Kesultanan Banten. Produksinya melimpah, begitu pula keuntungannya.
Dulu kala orang Eropa telah terbiasa mengkonsumsi makanan minim bumbu. Mereka menganggap makan enak hanya bermodalkan daging asap yang ditaburi oleh garam. Namun, persepsi itu berubah ketika rempah-rempah, terutama lada muncul di Eropa.
Lada bak tanaman surgawi yang paling dicari. Buah dari tanaman latin bernama Piper Nigrum menjelma jadi penyedap rasa universal untuk segala makanan. Mulai saat itu, segala macam resep-resep masakan khas Eropa mulai menempatkan lada sebagai bumbu dapur yang paling penting. Fakta itu dibuktikan dengan banyaknya temuan arkelogis terkait eksistensi lada di daratan Eropa. Penemuan periuk lada perak (peperatoria), misalnya.
Benda itu bak saksi kunci bahwa lada pernah menyebar luas dalam tiap sendi kuliner Eropa. Pandangan itu dikuatkan dengan kehadiran dari salah satu buku masa tertua di dunia yang ditulis Apicius antara abad ke-4 hingga awal abad ke-5, De Re Coquineria. Di dalamnya, secara tegas penggunaan lada dalam resep masakan adalah hal yang lumrah bagi segenap rakyat Eropa.
“Berdasarkan karya Apicius, tampaknya kaum romawi menyukai masakan pedas. Banyaknya referensi rempah-rempah dalam De Re Coquineria kira-kira sama banyaknya, dengan katakanlah, referensi minyak zaitun dalam buku masakan Italia modern. Lada sendiri muncul pada 349 dari keseluruhan 468 resp dalam buku (De Re Coquineria) ini. Rempah-rempah digunakan untuk menyedapkan untuk menyedapkan sayuran, ikan, daging, anggur, dan makanan penutup.”
“Resep paling pertama adalah kejutan anggur berempah. Lalu diikuti anggur berempah-madu untuk pengelana. Terdapat rempah-rempah asin untuk berbagai kepentingan, di antaranya sebuah campuran untuk membantu pencernaan dan menggerakkan usus besar, dan untuk fungsi yang kedua disebut, campurannya terdiri dari lada putih, lada hitam, Thyme, jahe, menthe, jintan, biji saledri, daun peterseli, oregano arugula, kuma-kuma, daun salam, dan dill,” cerita Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (2019).
Lebih lanjut, daya tarik lada tak cuma dianggap sebagai penyedap rasa makanan belaka. Tapi lada juga justru telah menjadi bagian dari aspek penting kehidupan di seluruh penjuru negeri. Semuanya karena kehadiran lada acap kali memunculkan keinginan atau obsesi untuk menguasai lada. Kuasa lada dapat membeli segala hal. Sebab, lada memiliki nilai yang tinggi. Apalagi jadi rebutan banyak orang.
Barang siapa yang ingin mendapatkan lada, maka mereka harus menempuh perjalanan jauh menjalajahi samudra untuk singgah di daratan Asia. Dari penghasil lada di China hingga Nusantara. Lagi pula, biaya yang dikeluarkan tak sedikit. Pun resikonya cukup besar: kematian.
“Lada adalah alat tukar yang ideal. Ia berharga bagaikan terbuat dari emas. Biaya melintas, sewa, pajak, bahkan denda pengadilan, dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barnag gadaian, serta membeli kewarganegaraan dan persenjataan yang lengkap.”
“Wanita tercantik, kuda tergagah, perhiasan terindah, karpet berharga, bulu hewan langka: semua bisa dimiliki dengan lada,” ungkap Paul Herrmann sebagaimana ditulis P. Swantoro dalam buku Perdagangan Lada XVII: perebutan Emas Putih dan Hitam di Nusantara (2019).
Kerajaan Aceh dan Kesultanan Banten
Keberadaan Aceh sebagai Bandar lada dunia bukan pepesan kosong belaka. Perdagangan lada Aceh pernah meraih kejayaan yang tak dapat ditandingi negara atau kerajaan manapun. Aceh pernah menjadi pemasok utama sekitar separuh kebutuhan lada Eropa pada tahun 1550-an.
Keberhasilan perdagangan lada lalu mengilhami Kesultanan Aceh mengusai pantai barat hingga timur Sumatra. Puncak kejayaan Aceh dalam mengasilkan lada hadir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Raja kharismatik itu berhasil memonopoli perdagangan lada di Sumatra. Sang raja dengan entengnya memainkan harga lada yang mau tak mau dibeli oleh orang Eropa.
Sultan Iskandar Muda sampai membutuhkan empat orang syahbandar. Mereka ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi perdagang lada di pelabuhan Aceh. Padahal, posisi syahbandar di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara lazimnya diisi oleh satu-dua pejabat saja.
“Keramaian di Pelabuhan Banda Aceh Darussalam pada zaman Sultan Iskandar Muda memerlukan pula beberapa orang syahbandar. Kalau tidak salah hitung jumlahnya empat juga, paling sedikit tiga orang. Dalam kunjungan Jenderal Prancis Beaulieu, dikatakan ada seorang syahbandar bersama beberapa orang pegawai dan juru tulis kantor bea cukai datang dengan sampan kecil setelah kapal Prancis itu membuang sauh.”
“Mereka membawa kertas tanda diutus oleh Sultan, menyerahkan sebuah daftar barang-barang berharga yang harus dipersembahkan kepada istana, lalu kembali ke darat. keesokan harinya kunjungan ke Istana dilakukan dengan suatu pawai. Tiap hadiah untuk sultan ditutupi kain halus yang berwarna kuning. Kalau ada surat resmi yang harus diserahkan, maka surat ini dibawa di atas baki persembahan dari perak yang ditutupi setangan yang disulam dengan benang emas,” terang Sejarawan Maritim, Adrian B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (2017).
Perdagangan lada di Kesultanan Banten tak kalah ramai. Peranan Banten sebagai salah satu penggerak perdagangan jalur rempah dunia dengan komoditi lada tak biasa dianggap sepele. Banten merupakan pengekspor lada kedua terbesar di Nusantara setelah Aceh. Pedagang-pedagang Asia hingga Eropa datang untuk mencari lada.
China jadi konsumen utama lada Nusantara pada abad berikutnya: abad ke-15 dan 16. Besaran ekspor lada ke China mencapai sekitar 50 ribu zak. Sedang hasil lada nusantara kurang lebih 60 ribu zak setiap tahun.
Jumlah itu menjadikan lada yang dikonsumsi oleh China tidak kalah dari bangsa Eropa. Pedagang China umumnya mendapatkan lada dari pedagang-pedagang Jawa yang eksis dari Pelabuhan di Banten. Setelahnya lada jadi rebutan. Orang-orang dari segala bangsa hadir di Banten untuk mendapatkan lada.
“Banten sudah jelas terkenal sebagai salah satu pelabuhan besar di Nusantara. Karena tertarik oleh lada, pedagang-pedagang dari seluruh pantai Samudra Hindia dan Laut China datang ke Banten untuk memperdagangkan barang dagangan mereka. Kita masih teringat akan daftar yang mengesankan dari bangsa-bangsa yang dijumpai di kota ini tahun 1596.”
“Oleh orang Belanda yang terheran-heran dan merasa senang sekali ketika mereka melakukan pelayaran yang pertama kali ke Asia Tenggara: Persia, Gujarat, Malabar, Keling, Pegu, Melayu, China, Turki, Arab, dan Abysinia, tak terhitung orang portugis yang telah berdagang di kawasan ini sejak hampir 80 tahun lamanya. Dalam daftar yang sudah panjang itu, perlu ditambahkan untuk paruh kedua abad ke-17 orang Inggris, Denmark, Prancis, dan tentu saja Belanda,” tutup Claude Guillot dalam buku Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII (2008).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya
Baca juga: