Pertama Kalinya Myanmar Merayakan Tahun Baru dalam Sejarah Hari Ini, 31 Desember 2012

JAKARTA - Pada 31 Desember 2012, untuk pertama kalinya masyarakat Myanmar berkumpul untuk merayakan pergantian tahun. Mereka juga perdana merasakan hebohnya menghitung mundur untuk memasuki 2013.

Mengutip Los Angeles Times, masyarakat Myanmar sebelumnya tidak pernah berkumpul utuk merayakan tahun baru. Hal tersebut dikarenakan junta militer membatasi perkumpulan semacam itu. Tetapi ketika negara itu menjadi pemerintahan totaliter dam secara bertahap merangkul reformasi, Myanmar merayakan tahun baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Sebelumnya, masyarakat Myanmar hanya merayakan Festival Tahun Baru Burma setiap April. Tanggal tahun baru dihitung menurut kalender Burma. Tanggal festival dijadikan hari libur umum di seluruh Myanmar dan merupakan bagian dari liburan musim panas di akhir tahun ajaran.

Sementara itu tahun baru yang biasanya dirayakan oleh penduduk seluruh dunia, mereka rayakan secara pribadi atau di dalam hotel, tetapi tidak ada perayaan terbuka. Di bawah rezim militer, satu-satunya pertunjukan kembang api yang megah yang diperbolehkan adalah untuk menghormati Hari Angkatan Bersenjata, sebuah perayaan tahunan junta militer.

Menutup akhir tahun dengan perayaan adalah akhir yang pas untuk tahun yang penuh dengan pengalaman pertama bagi Myanmar. Ikon demokrasi Aung San Suu Kyi, yang telah lama dikurung di rumahnya sebagai tahanan politik, terpilih menjadi anggota parlemen. Setelah Amerika Serikat (AS) memulihkan hubungan dengan negara yang telah lama terisolasi. Presiden AS Barack Obama melakukan kunjungan, yang pertama oleh seorang presiden AS, pada November 2012.

Presiden Myanmar Thein Sein mengadakan konferensi pers pertamanya untuk wartawan lokal untuk pertama kalinya pada 2012. Wartawan tidak lagi harus mengirim artikel ke badan sensor pemerintah sebelum dirilis. Ratusan tahanan juga merasakan kebebasan pertama mereka.

Ribuan orang menghadiri perayaan di sebuah lapangan besar di Yangon dengan latar belakang Pagoda Shwedagon yang terkenal di kota itu. Publik Myanmar mendapatkan kesempatan untuk melakukan apa yang dilakukan sebagian besar dunia setiap 31 Desember.

Layar digital besar menampilkan siaran langsung hitungan mundur Malam Tahun Baru di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Thailand dan hitungan mundur 60 detik memasuki 2013 di Myanmar. Penyanyi, selebriti, pertunjukan cahaya, dan perayaan lainnya digelar secara publik, yang sebelumnya pertemuan publik seperti itudilarang oleh rezim militer.

Perayaan Tahun Baru Burma (Foto: Wikimedia Commons)

Kembali terkekang

Namun sayang, kebebasan Myanmar tidak berumur panjang. Pada akhir Januari 2021, Militer Myanmar mengkudeta pemerintahan Aung San Suu Kyi. Alasan kudeta itu adalah ihak militer merasa terdapat kecurangan pada Pemilu Myanmar yang berlangsung pada November 2020.

Militer Myanmar kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang kemudian mengangkat Myint Swe, wakil presiden pertama Myanmar sebagai Pajabat Presiden. Tindakan ini mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk ancaman sanksi.

Selain itu, Militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat seiring dengan penangkapan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh lain yang terkait dengan tuduhan penipuan hasil Pemilu Myanmar. Saluran telepon dan internet pun dibatasi secara drastis.

Dengan kondisi internet dibatasi sampai 50 persen, TV nasional Myanmar yaitu MRTV hanya bisa memberikan pengumuman di Facebook. Isi pengumumannya adalah MRTV dan Radio Myanmar tidak melakukan siaran.

Aksi protes antimiliter di Yangon, Myanmar (Foto: Wikimedia Commons)

Baru-baru ini, badan amal internasional Save the Children mengonfirmasi dua anggota stafnya di Myanmar tewas dalam serangan yang dituduhkan oleh militer. Mengutip BBC, lebih dari 35 mayat, termasuk wanita dan anak-anak, ditemukan di negara bagian Kayah.

Dikatakan bahwa pasukan militer Myanmar memaksa kedua staf itu untuk keluar dari mobil, menangkap, membunuh dan membakar jasad korban. Namun Militer Myanmar membantah klaim tersebut.

Save the Children mengatakan dua anggota staf yang tewas adalah "ayah baru yang bekerja di bidang pendidikan untuk anak-anak." Kedua staf tersebut sedang dalam perjalanan pulang untuk liburan setelah melakukan pekerjaan kemanusiaan.

Dalam sebuah unggahan di Twitter, Save the Children meminta Dewan Keamanan PBB untuk bersidang dan mengambil tindakan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap mereka yang seharusnya bertanggung jawab.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya