Soe Hok Gie Mati Muda di Gunung Semeru
JAKARTA - Rasa empati yang dimiliki oleh Soe Hok Gie amat besar. Aktivis angkatan 66 itu tak saja sensitif pada penderitaan rakyat. Tapi juga memiliki empati besar pada lingkungan hidup. Naik gunung jadi hobinya. Bukan melulu pelepas stres. Bagi Gie, gunung adalah tempat aktualisasi diri. Gie pun bercita-cita menaklukkan atap tertinggi pula Jawa: Semeru. Ia mampu mewujudkannya, sebelum ia mati muda di gunung itu.
Soe Hok Gie adalah sosok yang memiliki idealisme tinggi. Ia sangat kritis dalam memandang sesuatu persoalan. Kritis itu sering ditunjukkan Gie pada persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Ia selalu melontarkan kritikannya kepada rezim-rezim berkuasa yang melulu memikirkan hajat pribadi. Sedang rakyat tak dipedulikan. Gie tak tinggal diam. Mimbar demonstrasi hingga etalase media massa dipilih jadi ruangnya untuk bersuara. Terutama terkait persoalan tata kelola negara, termasuk kebijakan-kebijakan rezim.
Satu waktu Gie selalu yakin kritikannya tepat sasaran. Di waktu yang lain Gie mulai dihinggapi oleh keraguan-keraguan. Dampak dari kritikan yang dirasa kecil, misalnya. Keraguan itu buat Gie sering merasa tak mampu berbuat apa-apa untuk mengubah segalanya.
Gie lalu punya solusi jitu. Solusi itu adalah naik gunung. Bagi Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Gunung jadi tempat belajar, juga tempat ujian dilangsungkan. Ujian itu niscaya akan mengerucutkan Gie pada dua jawaban, ia seseorang yang peduli diri sendiri, atau orang yang berada di belakang rakyat Indonesia.
“Terang bulan di sana amat indah. Gunung Pangrango dengan hutan-hutannya yang besar. Danau yang sepi dan danau yang manis serta tenang. Acara-acaranya juga mengesankan. Naik rakit sepuas-puasnya. Jaju, Maman, Tab, berenang. Saya mandi bergelar tangan di rakit sepuas-puasnya. Malam makan sate sebagai hidangan untuk pesta pelantikan. Saya tidur jam 20.00 dan bangun jam 05:30. Cukup lama untuk sebuah acara camping. Belum lagi tidur siang selama dua jam.”
“Saya berpikir-pikir mengapa saya harus selalu jadi orang baik. Sometimes I just want to be myself. Saya tak mau peduli dengan basa-basi. Saya pikir sekali-kali orang harus juga mengerti perasaan saya. Mengapa harus selalu saya? Dalam perenungan-perenungan ini timbul suatu kesadaran yang pahit sebagai seorang idealis. Sejak lama saya merasa terisolasi dengan sikap excuse terhadap situasi,” ungkap Soe Hok Gie dalam bukunya yang fenomenal, Catatan Seorang Demonstran (2011).
Gie selalu memanfaatkan pendakian untuk mengenal Indonesia. Proses mencintai Indonesia itu sama halnya dengan mengenal lebih jauh rakyat dan masalahnya. Mata Gie pun terbuka lebar. Selama naik gunung, Gie melihat dan berdiskusi terkait berbagai macam ketimpangan.
Sederet masalah yang ditemukan Gie diolah jadi peluru untuk mengembalikan semangat idealismenya. Alhasil, Gie semakin mantap untuk berjuang atas nama keadilan. Artinya, sebesar-besarnya perjuangan Gie sebagai seorang aktivis adalah membela mereka yang lemah. Pun kepada mereka yang tak tersentuh oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan jauh dari kesejahteraan.
“Antara saya dan pemuda desa ini terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan. Pendidikan, pekerjaan, latar belakang kebudayaan, cita-cita dan lingkungan. Tetapi karena kami berbicara secara jujur dan terbuka, kontak pribadi menjadi mesra. Percakapan ini berlangsung di antara hutan-hutan pinus dan bukit-bukit botak. Kalau sekiranya banyak pemuda Jakarta seperti kawan-kawan ini, saya masih punya harapan pada Jakarta, katanya, perlahan. Baginya, Jakarta adalah sumber hipokrisi, kemunafikan, dan dekadensi manusia,” ungkap Soe Hok Gie dalam buku Soe Hok Gie: Zaman Peralihan (2005).
Mati muda di Semeru
Aktivitas mendaki gunung semakin masif dilakukan Gie. Gunung Gede, Pangrango, Ceremai, dan Slamet pernah didakinya. Semua pendakian itu buat Gie makin cinta dengan gunung. Gie pun semakin menantang diri untuk mendaki gunung yang lebih tinggi.
Ia dengan kawan-kawannya ingin mencoba menaklukkan Gunung Semeru. Sebuah gunung yang digadang-gadang sebagai sebagai atap tertinggi di pulau Jawa. Pendakian ke Semeru jadi peristiwa besar bagi Gie pada Desember 1969.
Pun bagi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (UI). Semeru jadi pendakian pertama kali, baik Gie maupun segenap anggota Mapala UI. Mereka kemudian menumpang kereta api dari Gambir menuju Surabaya.
Canda tawa hingga perdebatan menghiasi perjalanan mereka dari stasiun Gambir hingga bersiap melakukan pendakian ke Semeru. Di tengah pendakian itulah Gie menyampaikan niatannya untuk menjadikan puncak Semeru, Mahameru sebagai sacred place (tempat suci) perayaan ulang tahunnya yang ke-27.
"Gua akan ulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang jatuh lusa itu, besok kan selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa" ucap Gie kepada tujuh rekannya (Aristides, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman Idhan Dhanvantari Lubis, serta Freddy Lodewijk Lasut) sebagaimana ditulis Rudy Badil dalam buku Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2009).
Di samping semangat Gie yang meninggi, nyatanya Gie juga sempat memiliki firasat tentang kematian. Firasat ini sebelumnya tidak ada pada pendakian sebelumnya. Tapi pada saat mendaki semeru firasat itu hadir. Makin kuat malah. Berbekal firasat itu, Gie menyempat diri untuk berpamitan dengan rekan-rekannya.
Nyatanya firasat Gie benar terjadi. Cuaca buruk –hujan dan kabut-- dalam pendakian menuju puncak Mahameru jadi muasalnya. Pendakian menjadi sulit. Di tambah lagi dengan adanya peristiwa Semeru mengeluarkan suara ledakan dan letusan yang menyemburkan debu dan gas beracun --belerang-- ke udara.
Peristiwa menyeramkan itu membuat napas jadi berat. Namun, Gie dan kawan-kawan dapat melewatinya. Ia sempat mencicipi berada di puncak Mahameru, sesuai mimpinya.Suasana menyeramkan di puncak Mahameru membuat seluruh pendaki bergegas turun. Dalam penurunan itu, mahasiswa Soe Hok Gie, Rudy Badil melihat Gie sudah kelelahan.
Gie tampak duduk di tepian lereng menjelang puncak Semeru. Ia termenung dengan ciri khasnya: duduk sembari menopang dagu. Ia menyapa Gie, dan Gie menyapanya dengan menitipkan sejumput daun cemara untuk dititipkan kepada mahasiswi di kampusnya. Sebagai bukti mereka berhasil mendaki Semeru.
Percakapan itu tak berlangsung lama. Sebab, udara dan gas beracun makin dirasakan mengganggu. Teman-teman Gie segera bergegas turun. Gie pun kemudian ditemukan meninggal dunia, bersama Idhan. Keduanya meninggal dalam dekapan Semeru. Kepergian Gie terjadi pada 16 Desember, atau minus satu hari dari ulang tahun tahunnya yang ke-27 pada 17 Desember. Gie pun mati muda.
“Adalah dalam kaitan ini saya ingin memberikan penghormatan (pay tribute) kepada kenang-kenangan dari Soe Hok Gie, salah satu kaum intelektual paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan, yang belum lama berselang meninggal dunia, ketika mendaki gunung Semeru. Komitmennya yang total kepada modernisasi dan demokrasi kejujuran yang nekat dan ketiadaannya yang lengkap dari kesadaran diri sendiri dalam melancarkan perjuangan-perjuangannya.”
“Membuat mungkin bagi dirinya untuk mengatasi syarat-syarat keberatan tertentu yang tradisional terhadap dirinya yang dipunyai oleh banyak orang karena dia keturunan Tionghoa. Bagi saya, dia merupakan contoh dari tipe atau sejenis baru orang Indonesia, dari seorang Indonesia sejati,” kenang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), Soedjatmoko dalam bukunya Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (2010).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.